DELISERDANG |TribuneIndonesia.com-
Tindakan seorang wanita bernama Fadlina diduga telah melanggar hukum setelah membawa masalah pribadi orang tua seorang murid berinisial S ke lingkungan sekolah. Perbuatannya dinilai tidak hanya tidak pantas, tetapi juga berpotensi mengganggu kondisi psikis sang anak yang masih duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar.
Kasus ini bermula ketika pihak sekolah menerima sepucuk surat yang ditujukan kepada S. Dalam surat tersebut, tertulis informasi bahwa orang tua S sedang menjalani hukuman penjara. Anehnya, di bagian pengirim surat tertulis nama “Mama”, seolah-olah surat tersebut dikirim langsung oleh ibu kandung S.
Kecurigaan pihak sekolah pun muncul. Wakil Kepala Sekolah yang menerima surat itu mengaku heran mengapa surat pribadi justru dikirim melalui pihak sekolah, bukan ke alamat keluarga. “Kami curiga, jika benar surat ini dari ibunya, mengapa dikirim ke sekolah dan bukan ke rumah keluarga. Demi kenyamanan anak, kami memanggil wali murid dan keluarga untuk memastikan kebenaran surat tersebut,” ujar Wakasek saat dikonfirmasi.
Mengetahui hal tersebut, pihak keluarga pun langsung datang ke sekolah. Nenek S yang menerima kabar dari pihak sekolah mengaku terkejut dan menyayangkan tindakan tersebut. Ia khawatir perbuatan itu dapat berdampak buruk terhadap kondisi mental cucunya.
Perbuatan yang dilakukan oleh Fadlina tersebut berpotensi melanggar beberapa ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut kajian hukum yang dihimpun, tindakan mengirim surat dengan isi yang dapat menimbulkan tekanan mental terhadap anak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 335 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal satu tahun atau denda.
Selain itu, jika isi surat tersebut dinilai menimbulkan keresahan atau keonaran, maka Fadlina dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang penyebaran informasi yang meresahkan, dengan ancaman pidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.
Lebih jauh lagi, tindakan ini juga dapat dijerat dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, karena dianggap telah melakukan kekerasan psikis terhadap anak. Jika terbukti menyebabkan anak mengalami gangguan mental atau trauma, pelaku dapat dikenakan hukuman penjara maksimal lima tahun dan/atau denda hingga Rp100 juta.
Seorang pemerhati hukum anak yang dimintai pendapat menegaskan bahwa tindakan seperti ini sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak. “Surat seperti itu bisa menimbulkan tekanan psikologis yang berat. Anak menjadi malu, tertekan, bahkan kehilangan semangat belajar. Hal ini termasuk bentuk kekerasan psikis,” ujarnya.
Hingga kini, pihak keluarga S tengah mempertimbangkan langkah hukum terhadap Fadlina. Mereka juga berencana melaporkan kasus ini ke pihak berwajib dan lembaga perlindungan anak agar kejadian serupa tidak terulang di lingkungan pendidikan.
Keluarga berharap aparat penegak hukum dapat menindak tegas pelaku agar memberikan efek jera. “Anak tidak seharusnya menjadi korban konflik orang dewasa. Sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi tumbuh kembang anak, bukan arena untuk membawa masalah pribadi,” ujar keluarga dengan nada kecewa.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak agar tidak melibatkan anak dalam persoalan rumah tangga atau masalah pribadi orang tua. Tindakan seperti yang dilakukan Fadlina tidak hanya mencederai nilai moral, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak psikologis jangka panjang bagi anak yang menjadi korban.
TribuneIndonesia.com















