Oleh : Muamar Syahputra ketua KAKI Aceh
TribuneIndonesia.com
Panggung politik dan birokrasi di Provinsi Aceh kembali diwarnai perdebatan sengit terkait nasib tenaga honorer, kontrak, dan BLUD. Dua wali kota menampilkan sikap yang saling bertolak belakang dalam menyikapi isu pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.
Wali Kota Langsa, dalam pidato bersemangat di perayaan HUT RI ke-80, menjanjikan sesuatu yang dianggap sebagai “hadiah kemerdekaan” bagi ribuan tenaga non-ASN di wilayahnya: mereka akan diangkat menjadi pegawai PPPK paruh waktu. Sontak, pernyataan ini menuai tepuk tangan, harapan, dan sekaligus pertanyaan besar dari publik.
Mampukah keuangan Kota Langsa menanggung beban gaji ribuan pegawai paruh waktu tersebut? Di saat kondisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Langsa masih dianggap lemah, janji manis wali kota seakan menjadi perjudian besar. Bukan hanya soal manajemen fiskal, tetapi juga soal keberlanjutan birokrasi.
Bandingkan dengan sikap tegas namun realistis yang ditunjukkan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Di hadapan publik, Illiza tidak segan mengakui keterbatasan keuangan daerah. Ia menegaskan bahwa Banda Aceh tidak mungkin mampu membayar 2.900-an tenaga non-ASN jika seluruhnya diangkat menjadi PPPK. Bila dipaksakan, Banda Aceh justru berisiko kolaps.
“Persoalan PPPK yang harus mengangkat 2.900-an orang bukan perkara mudah,” ujar Illiza. Ia bahkan menghitung potensi utang baru hingga Rp 60 miliar pada 2026, bila skema pengangkatan itu dipaksakan. Angka yang akan terus bertambah seiring tahun berjalan, dan jelas menggerus kemampuan fiskal daerah.
Kebijakan publik, terlebih yang menyangkut hajat hidup ribuan orang, memang selalu mengandung dilema. Di satu sisi, ada harapan besar dari tenaga honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi dengan honorarium minim, sering kali di bawah standar. Di sisi lain, ada realitas keras yang tidak bisa diabaikan: kemampuan fiskal daerah yang terbatas.
Di titik inilah, publik menilai, Wali Kota Langsa terkesan emosional dan lebih menekankan politik populis ketimbang analisis rasional. Janji untuk mengangkat seluruh tenaga honorer bisa jadi populer secara politik, tetapi berisiko besar menghantam kas daerah di kemudian hari.
Sebaliknya, Illiza menunjukkan wajah lain dari kepemimpinan: berani jujur mengatakan “tidak mampu” di hadapan rakyat. Sikap ini mungkin tidak populer, bahkan berpotensi menimbulkan kekecewaan, tetapi justru lebih dekat dengan prinsip good governance. Apalagi Banda Aceh saat ini tengah berupaya keras menyelesaikan sisa utang yang diwariskan, hanya tinggal Rp 1,7 miliar di RSUD Meuraxa.
Publik tentu berharap janji manis bukanlah jebakan pahit di masa depan. Bila daerah dipaksa memikul beban melebihi kapasitasnya, maka yang hancur bukan hanya neraca keuangan, melainkan juga kualitas pelayanan publik. Birokrasi bisa lumpuh, pembangunan bisa mandek, dan rakyat pada akhirnya menanggung akibatnya.
Kini masyarakat Aceh dihadapkan pada dua pilihan wajah kepemimpinan. Yang pertama, pemimpin yang berani bermimpi besar dan mengumbar janji populis tanpa kepastian kemampuan. Yang kedua, pemimpin yang lebih realistis, berani mengatakan “tidak” meski risiko politiknya besar.
Pada akhirnya, persoalan pengangkatan PPPK tidak bisa hanya dilihat dari kacamata emosional atau politik pencitraan. Perlu kajian matang, peta fiskal yang jelas, serta keberanian mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat tanpa mengorbankan keberlanjutan keuangan daerah.
Dan publik berhak bertanya: apakah kita lebih membutuhkan pemimpin yang berani berkata “ya” demi popularitas sesaat, atau pemimpin yang berani berkata “tidak” demi masa depan yang lebih sehat? (#)