Dua Wali Kota, Dua Wajah Kebijakan PPPK di Aceh

- Editor

Rabu, 20 Agustus 2025 - 03:53

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Muamar Syahputra ketua KAKI Aceh

TribuneIndonesia.com

Panggung politik dan birokrasi di Provinsi Aceh kembali diwarnai perdebatan sengit terkait nasib tenaga honorer, kontrak, dan BLUD. Dua wali kota menampilkan sikap yang saling bertolak belakang dalam menyikapi isu pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.

Wali Kota Langsa, dalam pidato bersemangat di perayaan HUT RI ke-80, menjanjikan sesuatu yang dianggap sebagai “hadiah kemerdekaan” bagi ribuan tenaga non-ASN di wilayahnya: mereka akan diangkat menjadi pegawai PPPK paruh waktu. Sontak, pernyataan ini menuai tepuk tangan, harapan, dan sekaligus pertanyaan besar dari publik.

Mampukah keuangan Kota Langsa menanggung beban gaji ribuan pegawai paruh waktu tersebut? Di saat kondisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Langsa masih dianggap lemah, janji manis wali kota seakan menjadi perjudian besar. Bukan hanya soal manajemen fiskal, tetapi juga soal keberlanjutan birokrasi.

Bandingkan dengan sikap tegas namun realistis yang ditunjukkan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Di hadapan publik, Illiza tidak segan mengakui keterbatasan keuangan daerah. Ia menegaskan bahwa Banda Aceh tidak mungkin mampu membayar 2.900-an tenaga non-ASN jika seluruhnya diangkat menjadi PPPK. Bila dipaksakan, Banda Aceh justru berisiko kolaps.

“Persoalan PPPK yang harus mengangkat 2.900-an orang bukan perkara mudah,” ujar Illiza. Ia bahkan menghitung potensi utang baru hingga Rp 60 miliar pada 2026, bila skema pengangkatan itu dipaksakan. Angka yang akan terus bertambah seiring tahun berjalan, dan jelas menggerus kemampuan fiskal daerah.

Kebijakan publik, terlebih yang menyangkut hajat hidup ribuan orang, memang selalu mengandung dilema. Di satu sisi, ada harapan besar dari tenaga honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi dengan honorarium minim, sering kali di bawah standar. Di sisi lain, ada realitas keras yang tidak bisa diabaikan: kemampuan fiskal daerah yang terbatas.

Baca Juga:  Sepotong Roti di Persimpangan Takdir Ketika Jalan Pintas Menuntun ke Lembah Hitam

Di titik inilah, publik menilai, Wali Kota Langsa terkesan emosional dan lebih menekankan politik populis ketimbang analisis rasional. Janji untuk mengangkat seluruh tenaga honorer bisa jadi populer secara politik, tetapi berisiko besar menghantam kas daerah di kemudian hari.

Sebaliknya, Illiza menunjukkan wajah lain dari kepemimpinan: berani jujur mengatakan “tidak mampu” di hadapan rakyat. Sikap ini mungkin tidak populer, bahkan berpotensi menimbulkan kekecewaan, tetapi justru lebih dekat dengan prinsip good governance. Apalagi Banda Aceh saat ini tengah berupaya keras menyelesaikan sisa utang yang diwariskan, hanya tinggal Rp 1,7 miliar di RSUD Meuraxa.

Publik tentu berharap janji manis bukanlah jebakan pahit di masa depan. Bila daerah dipaksa memikul beban melebihi kapasitasnya, maka yang hancur bukan hanya neraca keuangan, melainkan juga kualitas pelayanan publik. Birokrasi bisa lumpuh, pembangunan bisa mandek, dan rakyat pada akhirnya menanggung akibatnya.

Kini masyarakat Aceh dihadapkan pada dua pilihan wajah kepemimpinan. Yang pertama, pemimpin yang berani bermimpi besar dan mengumbar janji populis tanpa kepastian kemampuan. Yang kedua, pemimpin yang lebih realistis, berani mengatakan “tidak” meski risiko politiknya besar.

Pada akhirnya, persoalan pengangkatan PPPK tidak bisa hanya dilihat dari kacamata emosional atau politik pencitraan. Perlu kajian matang, peta fiskal yang jelas, serta keberanian mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat tanpa mengorbankan keberlanjutan keuangan daerah.

Dan publik berhak bertanya: apakah kita lebih membutuhkan pemimpin yang berani berkata “ya” demi popularitas sesaat, atau pemimpin yang berani berkata “tidak” demi masa depan yang lebih sehat? (#)

Berita Terkait

Sekilas Antara Reformasi 1998 dan Demonstrasi Saat Ini: Perbedaan Konteks, Pemicu, dan Dinamika
Sakit Gigi, Sakit “Murahan” yang Bisa Bikin Hidup Berantakan
Nisa, Putri Deli Serdang yang Harumkan Nama Daerah di Dangdut Academy 7 Indosiar
Judul Sensasional “Bupati Rasa Debt Collector” Media Jangan Jadi Kompor Konflik
Kritik Bukan Kejahatan, Mengapa Pemerintah Harus Belajar Mendengar Pers
Bimtek Desa: Proyek Pemangku Kepentingan yang Membebani, Bukan Solusi
Langkah Tegas Mabes Polri: Melindungi Jurnalis, Mengingatkan Pers Jangan Jadi Penyalahguna Kebebasan
ASN Meradang,  Pemerintah Tak Peka
Berita ini 33 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 1 September 2025 - 00:52

Prabowo Kumpulkan Ketum Parpol di Istana: DPR Dicopot, Tunjangan Dicabut, Perusuh Dihantam Tegas!

Senin, 1 September 2025 - 00:32

Waspada Provokasi: Ketua Umum JWI Ramadhan Djamil Ajak Masyarakat Selektif Bermedia dan Jaga Persatuan Bangsa

Minggu, 31 Agustus 2025 - 12:28

Ketua PENA PUJAKESUMA dan Ketua PEPABRI Aceh Tamiang Imbau Masyarakat Jaga Persatuan, Jangan Terprovokasi

Minggu, 31 Agustus 2025 - 12:23

Keberadaan PT Asera Sagoesa di Pante Bidari Dinilai Tak Beri Manfaat, Marak Abaikan Tanggung Jawab Sosial

Minggu, 31 Agustus 2025 - 10:59

Kapolsek Batang Kuis Gandeng Ulama, Teguhkan Amal Agama di Tengah Masyarakat

Minggu, 31 Agustus 2025 - 07:28

NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 14:41

Diduga Dibekingi Oknum Polisi, Penangkapan Bandar Sabu di Bener Meriah Ciderai Marwah Polri

Sabtu, 30 Agustus 2025 - 12:28

WAKIL BUPATI NUSAR AMIN PANTAU PENYALURAN MBG

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x