Oleh: Chaidir Toweren (Seniman politik lokal)
TribuneIndonesia.com
Ada satu rasa yang paling membingungkan dalam perjalanan batin manusia: mencintai sesuatu yang membuat kita terluka. Rasa itu pahit, getir, tapi juga candu. Kita menyebutnya dengan frasa yang terdengar kontradiktif “benci mencintaimu.”
Kalimat itu bisa ditujukan kepada siapa saja seorang kekasih, seorang pemimpin, bahkan tanah air sendiri. Kita marah, kecewa, bahkan muak. Tapi entah kenapa, rasa cinta itu tetap tumbuh, bertahan dalam diam, meski disakiti berkali-kali.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, saya kadang merasa seperti itu terhadap negeri ini. Negara yang katanya kaya raya, indah alamnya, ramah manusianya. Tapi saban hari kita disuguhi cerita tentang korupsi, ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, dan para pejabat yang lebih lihai bermain sandiwara ketimbang melayani rakyat.
Saya benci ketika rakyat kecil harus antre berjam-jam demi bantuan yang nilainya tak seberapa, sementara mereka yang duduk di kursi empuk legislatif bisa melancong ke luar negeri dengan dalih studi banding. Saya benci saat melihat anak-anak bangsa harus putus sekolah karena kemiskinan struktural yang tak kunjung diselesaikan.
Tapi di balik semua kebencian itu, saya sadar: saya tak mungkin benar-benar pergi. Sebab cinta saya pada negeri ini terlalu dalam. Seperti seseorang yang sudah lama hidup dalam hubungan toksik tapi tak sanggup melepaskan karena masih menyimpan harapan, walau sekecil bara.
Cinta semacam itu tidak sehat, kata sebagian orang. Tapi mungkin memang begitu wujud cinta sejati: bertahan bukan karena nyaman, tapi karena keyakinan bahwa suatu saat semua ini bisa berubah. Kita percaya, walau berkali-kali dikecewakan, bahwa akan datang hari di mana kebaikan menang dan keadilan menjadi nyata.
“Benci mencintaimu” bukan sekadar ungkapan rasa sakit. Ia adalah bentuk kejujuran terdalam dari hati yang peduli. Dan selama kebencian itu lahir dari cinta, maka ia bukan kehancuran tapi justru awal dari perlawanan.
Mencintai negeri ini tidak harus berarti membenarkan semuanya. Justru cinta yang paling jujur adalah yang berani mengkritik, mengingatkan, dan bahkan melawan jika perlu. Karena kita tak ingin negeri ini terus-terusan terluka oleh orang-orang yang memperalat cinta kita demi kekuasaan mereka.
Maka biarlah saya tetap berada di persimpangan rasa ini: antara benci dan cinta. Sebab di sanalah saya tahu, saya masih manusia dan masih peduli.















