Oleh : Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Aceh kembali tenggelam dalam kegelapan. Dua hari berturut-turut, listrik padam hingga lebih dari 10 jam, membuat masyarakat seolah dibawa kembali ke masa konflik bersenjata dua dekade lalu. Bedanya, dulu listrik padam karena sabotase atau tiang yang roboh akibat tembakan. Kini, ketika Aceh sudah damai, listrik padam karena alasan yang sama sekali tidak bisa diterima, kelalaian, salah urus, atau diskriminasi.
Selama masa konflik, rakyat Aceh sudah terbiasa hidup dengan ketidakpastian. Malam-malam panjang yang hanya ditemani lampu minyak atau lilin menjadi bagian dari kehidupan. Setelah perdamaian 2005, rakyat berharap bahwa kegelapan hanya tinggal kenangan. Namun kenyataannya, 20 tahun setelah damai diteken, Aceh kembali gelap gulita.
Ironi yang begitu menyakitkan, Aceh disebut daerah kaya sumber daya alam, tapi justru miskin penerangan. Aceh punya sungai besar, punya panas bumi, punya laut luas, punya gas Arun yang pernah jadi kebanggaan negeri ini. Tapi apa yang didapat rakyat? Bukan cahaya, melainkan kegelapan.
Rakyat Aceh merasa dianaktirikan. Listrik di provinsi tetangga nyaris tanpa gangguan, sementara Aceh seperti wilayah kelas dua. Apa artinya status daerah khusus dengan undang-undang istimewa, jika listrik saja tidak bisa dinikmati secara adil? Damai yang dibanggakan itu kehilangan makna jika rakyat terus hidup dalam diskriminasi.
Pemadaman listrik bukan sekadar masalah teknis. Ia adalah simbol ketidakadilan. Ia adalah wajah nyata dari bagaimana negara memperlakukan Aceh, kaya di atas kertas, miskin dalam kenyataan. Rakyat Aceh sudah menanggung stigma sebagai provinsi termiskin, kini ditambah lagi dengan penderitaan akibat listrik yang tak menentu.
Listrik padam berjam-jam jelas memukul kehidupan masyarakat. Anak-anak tak bisa belajar, pelaku usaha kecil rugi besar, pedagang es terpaksa membuang dagangannya, rumah sakit kerepotan dengan genset yang boros bahan bakar. Sementara di rumah-rumah, keluarga hanya bisa mengeluh, menatap gelap, menunggu tanpa kepastian.
Dua puluh tahun damai seharusnya memberi ruang bagi pembangunan. Namun nyatanya, listrik padam panjang menunjukkan bahwa damai belum membawa terang. Aceh memang tak lagi dihantui suara senjata, tapi masih diselimuti gelap. Inikah yang disebut kesejahteraan pasca-konflik?
Damai Aceh seolah hanya slogan di atas kertas. Jika kebutuhan dasar rakyat saja diabaikan, lalu untuk apa perdamaian itu? Damai tidak boleh sebatas ketiadaan perang. Damai harus berarti hadirnya layanan publik yang adil, hadirnya pembangunan yang merata, hadirnya penghargaan terhadap martabat rakyat Aceh.
Dua hari yang lalu, Aceh juga sempat dikejutkan dengan stetmen dan perlakuan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang membuat pernyataan bahwa setiap yang berusaha dan truk yang melintas ke Sumatera Utara wajib menggantikan nomor kendaraannya ke Nomor kendaraan Sumatera Utara ( Plat BL di minta ganti ke plat BK).
Sebuah perlakuan yang tidak masuk akal. Aceh masih dalam bingkai NKRI. Jadi nomor kendaraan Aceh bebas bisa kemana saja ke seluruh Indonesia. Kecuali bus dan truk mereka wajib memiliki izin tambahan yaitu izin trayek angkutan.
Pemadaman listrik berjam-jam adalah kegagalan negara, kegagalan PLN sebagai institusi penyedia energi. Rakyat tak peduli alasan teknis apa yang digunakan untuk menutupi kegagalan ini. Bagi rakyat, yang jelas hanya satu, lampu padam, hidup sengsara.
Rakyat Aceh tidak meminta berlebihan. Hanya meminta hak dasar: listrik yang layak. Jika provinsi lain bisa menikmatinya, mengapa Aceh tidak? Apakah karena Aceh jauh di ujung republik, lalu dianggap tidak penting?
Ini adalah bentuk diskriminasi. Aceh bukan provinsi kelas dua. Rakyat Aceh bukan rakyat yang bisa diabaikan begitu saja.
Aceh harus bersuara lantang. Gubernur, DPR Aceh, ulama, aktivis, tokoh masyarakat semua harus satu suara, hentikan diskriminasi terhadap Aceh. Jangan hanya diam dan menunggu janji manis.
Rakyat Aceh tidak boleh terus terjebak dalam kesabaran yang menyakitkan. Kita sudah sabar selama masa konflik, sabar dalam kemiskinan, sabar dalam keterbelakangan. Tapi kesabaran ada batasnya.
Pemadaman listrik harus menjadi momentum untuk menuntut perubahan. Aceh punya potensi besar energi terbarukan. Mengapa tidak dikelola dengan benar? Mengapa tidak ada keberanian dari pemerintah daerah untuk menuntut hak rakyat Aceh atas energi yang melimpah di tanahnya?
Gelap tidak boleh menjadi takdir Aceh. Damai tanpa terang adalah damai yang pincang. Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk membuktikan bahwa Aceh bisa bangkit, tapi jika listrik saja masih padam belasan jam, bagaimana Aceh bisa bermimpi besar?
Kegelapan ini harus diakhiri. Negara tidak boleh terus memperlakukan Aceh sebagai wilayah pinggiran. Jika benar Aceh bagian dari republik, maka haknya harus sama: terang yang adil bagi semua.
Masyarakat Aceh tidak menuntut lebih, hanya menuntut hak dasar yang seharusnya otomatis diberikan. Jangan biarkan rakyat kembali trauma, merasa seakan-akan perang belum benar-benar selesai.
Aceh pantas untuk hidup dalam terang. Aceh pantas mendapatkan keadilan energi. Damai 20 tahun harusnya jadi cahaya, bukan kegelapan baru.















