Aceh Gelap Gulita: Damai 20 Tahun, Tapi Terang Terpinggirkan

- Editor

Selasa, 30 September 2025 - 12:10

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Chaidir Toweren

TribuneIndonesia.com

Aceh kembali tenggelam dalam kegelapan. Dua hari berturut-turut, listrik padam hingga lebih dari 10 jam, membuat masyarakat seolah dibawa kembali ke masa konflik bersenjata dua dekade lalu. Bedanya, dulu listrik padam karena sabotase atau tiang yang roboh akibat tembakan. Kini, ketika Aceh sudah damai, listrik padam karena alasan yang sama sekali tidak bisa diterima, kelalaian, salah urus, atau diskriminasi.

Selama masa konflik, rakyat Aceh sudah terbiasa hidup dengan ketidakpastian. Malam-malam panjang yang hanya ditemani lampu minyak atau lilin menjadi bagian dari kehidupan. Setelah perdamaian 2005, rakyat berharap bahwa kegelapan hanya tinggal kenangan. Namun kenyataannya, 20 tahun setelah damai diteken, Aceh kembali gelap gulita.

Ironi yang begitu menyakitkan, Aceh disebut daerah kaya sumber daya alam, tapi justru miskin penerangan. Aceh punya sungai besar, punya panas bumi, punya laut luas, punya gas Arun yang pernah jadi kebanggaan negeri ini. Tapi apa yang didapat rakyat? Bukan cahaya, melainkan kegelapan.

Rakyat Aceh merasa dianaktirikan. Listrik di provinsi tetangga nyaris tanpa gangguan, sementara Aceh seperti wilayah kelas dua. Apa artinya status daerah khusus dengan undang-undang istimewa, jika listrik saja tidak bisa dinikmati secara adil? Damai yang dibanggakan itu kehilangan makna jika rakyat terus hidup dalam diskriminasi.

Pemadaman listrik bukan sekadar masalah teknis. Ia adalah simbol ketidakadilan. Ia adalah wajah nyata dari bagaimana negara memperlakukan Aceh, kaya di atas kertas, miskin dalam kenyataan. Rakyat Aceh sudah menanggung stigma sebagai provinsi termiskin, kini ditambah lagi dengan penderitaan akibat listrik yang tak menentu.

Listrik padam berjam-jam jelas memukul kehidupan masyarakat. Anak-anak tak bisa belajar, pelaku usaha kecil rugi besar, pedagang es terpaksa membuang dagangannya, rumah sakit kerepotan dengan genset yang boros bahan bakar. Sementara di rumah-rumah, keluarga hanya bisa mengeluh, menatap gelap, menunggu tanpa kepastian.

Dua puluh tahun damai seharusnya memberi ruang bagi pembangunan. Namun nyatanya, listrik padam panjang menunjukkan bahwa damai belum membawa terang. Aceh memang tak lagi dihantui suara senjata, tapi masih diselimuti gelap. Inikah yang disebut kesejahteraan pasca-konflik?

Damai Aceh seolah hanya slogan di atas kertas. Jika kebutuhan dasar rakyat saja diabaikan, lalu untuk apa perdamaian itu? Damai tidak boleh sebatas ketiadaan perang. Damai harus berarti hadirnya layanan publik yang adil, hadirnya pembangunan yang merata, hadirnya penghargaan terhadap martabat rakyat Aceh.

Dua hari yang lalu, Aceh juga sempat dikejutkan dengan stetmen dan perlakuan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang membuat pernyataan bahwa setiap yang berusaha dan truk yang melintas ke Sumatera Utara wajib menggantikan nomor kendaraannya ke Nomor kendaraan Sumatera Utara ( Plat BL di minta ganti ke plat BK).

Baca Juga:  Terkenal Belum Tentu Pintar, dan Pintar Tidak Perlu Terkenal

Sebuah perlakuan yang tidak masuk akal. Aceh masih dalam bingkai NKRI. Jadi nomor kendaraan Aceh bebas bisa kemana saja ke seluruh Indonesia. Kecuali bus dan truk mereka wajib memiliki izin tambahan yaitu izin trayek angkutan.

Pemadaman listrik berjam-jam adalah kegagalan negara, kegagalan PLN sebagai institusi penyedia energi. Rakyat tak peduli alasan teknis apa yang digunakan untuk menutupi kegagalan ini. Bagi rakyat, yang jelas hanya satu, lampu padam, hidup sengsara.

Rakyat Aceh tidak meminta berlebihan. Hanya meminta hak dasar: listrik yang layak. Jika provinsi lain bisa menikmatinya, mengapa Aceh tidak? Apakah karena Aceh jauh di ujung republik, lalu dianggap tidak penting?

Ini adalah bentuk diskriminasi. Aceh bukan provinsi kelas dua. Rakyat Aceh bukan rakyat yang bisa diabaikan begitu saja.

Aceh harus bersuara lantang. Gubernur, DPR Aceh, ulama, aktivis, tokoh masyarakat semua harus satu suara, hentikan diskriminasi terhadap Aceh. Jangan hanya diam dan menunggu janji manis.

Rakyat Aceh tidak boleh terus terjebak dalam kesabaran yang menyakitkan. Kita sudah sabar selama masa konflik, sabar dalam kemiskinan, sabar dalam keterbelakangan. Tapi kesabaran ada batasnya.

Pemadaman listrik harus menjadi momentum untuk menuntut perubahan. Aceh punya potensi besar energi terbarukan. Mengapa tidak dikelola dengan benar? Mengapa tidak ada keberanian dari pemerintah daerah untuk menuntut hak rakyat Aceh atas energi yang melimpah di tanahnya?

Gelap tidak boleh menjadi takdir Aceh. Damai tanpa terang adalah damai yang pincang. Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk membuktikan bahwa Aceh bisa bangkit, tapi jika listrik saja masih padam belasan jam, bagaimana Aceh bisa bermimpi besar?

Kegelapan ini harus diakhiri. Negara tidak boleh terus memperlakukan Aceh sebagai wilayah pinggiran. Jika benar Aceh bagian dari republik, maka haknya harus sama: terang yang adil bagi semua.

Masyarakat Aceh tidak menuntut lebih, hanya menuntut hak dasar yang seharusnya otomatis diberikan. Jangan biarkan rakyat kembali trauma, merasa seakan-akan perang belum benar-benar selesai.

Aceh pantas untuk hidup dalam terang. Aceh pantas mendapatkan keadilan energi. Damai 20 tahun harusnya jadi cahaya, bukan kegelapan baru.

Berita Terkait

Kuat di Iman, Tegar di Tugas: Kunci Sukses Kadiv Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho Bangun Humas Humanis dan Berjiwa Rohani
FEIBC Merayakan Kehangatan Keluarga dan Semangat Bangsa dalam Gathering Oktober 2025: Feiby Josefina Pimpin Semangat ‘Fun, Elegant, Inspiring’
Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe di Bumi Serambi Mekkah
Asal Jadi! Revitalisasi SDN Cikayas 3 Digeruduk Sorotan — Pengawasan Lemah, Kualitas Diragukan, Kepala Sekolah Bungkam
Bagaimana Aku Takut pada Kemiskinan, Sedang Aku Hamba dari Dia yang Maha Kaya
Peran ibu bupati aceh timur di garis depan melawan stanting melalui Edukasi Perilaku Higienis dan racun lingkungan
Jebakan Komunitas “Iming-Iming Impian”: Cuci Otak Berkedok Peluang, Janjikan Mobil hingga Rumah Miliaran
“Jaksa Tidur, Koruptor Tertawa: Publik Desak Jaksa Agung Bongkar Kebekuan Hukum di Daerah”
Berita ini 177 kali dibaca
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

Minggu, 2 November 2025 - 13:18

Fadlina Diduga Langgar Hukum, Bawa Masalah Orang Tua ke Sekolah dan Rugikan Psikis Anak

Sabtu, 1 November 2025 - 08:19

Direksi PLN Bungkam Setelah Diduga EVP-nya Pertontonkan Tindak Kekerasan Bersenjata Tajam di Cinere

Kamis, 30 Oktober 2025 - 23:29

20 Kasus Terungkap, 25 Tersangka Dibekuk: Polsek Medan Tembung Hantam Kejahatan Tanpa Ampun

Senin, 27 Oktober 2025 - 23:53

Polda Sumut Ungkap 249 Kasus dan 226 Tersangka dalam Operasi Kancil Toba 2025

Minggu, 26 Oktober 2025 - 11:39

Tiga Remaja Bawa Sajam Diamankan Warga di Batang Kuis, Polisi Pastikan Bukan Pelaku Begal

Jumat, 24 Oktober 2025 - 12:33

Polres Subulussalam Selidiki Kasus Dugaan Perusakan Mobil di Desa Sikalondang

Rabu, 22 Oktober 2025 - 14:34

Rayap Besi Tumbang di Denai Pencuri Pagar Dihadiahi Tindakan Tegas Polisi

Senin, 20 Oktober 2025 - 14:28

“Lima Komplotan Curat di Pantai Labu Ditangkap, Motor Korban Dijual Murah ke Percut Sei Tuan”

Berita Terbaru

Pemerintahan dan Berita Daerah

Budaya Aceh Bergema: Grup Rapai Lonceng Aceh Pukau Warga di Maulid Gampong Lhee Meunasah

Minggu, 2 Nov 2025 - 15:33

Pemerintahan dan Berita Daerah

Bidan Farida : Tidak Ada Pungli Dalam UPKP Kabupaten Deli Serdang Tahun 2025

Minggu, 2 Nov 2025 - 13:27

TNI dan Polri

Kapolda Aceh Hadiri Pembukaan MTQ ke-XXXVII di Pidie Jaya

Minggu, 2 Nov 2025 - 12:32

Perusahaan, Perkebunan dan Peternakan

Digelar di 2 Lokasi Berbeda, CFD Akan Diperluas ke Kecamatan Lain

Minggu, 2 Nov 2025 - 10:50

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x