Banda Aceh/Tribuneindonesia.com
Di sebuah sudut pengungsian yang lembap dan gelap, seorang ibu menggenggam tangan anaknya yang dingin. Tidak ada lagi yang bisa ia berikan selain pelukan. Makanan telah habis sejak kemarin, air bersih hanya seteguk yang dibagi bergiliran, dan malam turun tanpa obat, tanpa selimut, tanpa kepastian. Ketika fajar datang, anak itu tidak lagi bangun.
Pasca banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, penderitaan warga tidak berakhir saat air surut. Justru di pengungsian lah tragedi paling sunyi terjadi. Relawan dan warga melaporkan korban yang meninggal bukan karena terseret arus, melainkan karena kelaparan, kelelahan ekstrem, dan ketiadaan bantuan dasar. Kematian yang datang perlahan, tanpa suara, tanpa sorotan.
Di tenda-tenda darurat, lansia duduk memeluk lutut, tubuh mereka lemah menahan lapar berhari-hari. Anak-anak menangis mencari makan yang tak kunjung datang. Perempuan hamil bertahan dengan sisa tenaga, berharap bantuan tiba sebelum terlambat. Di tempat-tempat ini, waktu berjalan lebih lambat—setiap jam terasa seperti penantian antara hidup dan mati.
Di tengah krisis ini, keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk menolak bantuan kemanusiaan internasional menjadi luka yang paling dalam. Saat dunia menyatakan kesiapan mengirim pangan, obat-obatan, dan tenaga medis, pintu pertolongan justru tertutup. Bagi mereka yang kelaparan di pengungsian, kebijakan itu bukan perdebatan politik—melainkan jarak tipis antara bernapas dan mengembuskan napas terakhir.
Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, menyebut apa yang terjadi sebagai pembiaran terhadap penderitaan manusia. Ketika kemampuan nasional tidak mampu menjangkau seluruh korban secara cepat dan merata, katanya, menolak bantuan dunia berarti membiarkan kematian berjalan pelan, satu demi satu, di hadapan mata.
Di banyak lokasi, krisis pangan dan air bersih berlangsung berhari-hari. Layanan kesehatan nyaris tak ada. Bantuan datang terlambat atau tidak merata. Mereka yang paling rapuh—anak-anak, lansia, perempuan hamil—menjadi yang pertama tumbang. Tidak ada sirene. Tidak ada pengumuman. Hanya tangis pelan dan kain penutup jenazah.
Sementara itu, narasi resmi menyebut situasi “terkendali”. Namun di pengungsian, kendali itu terasa asing. Relawan dan saksi mata menggambarkan kondisi darurat akut: perut kosong, tubuh menggigil, dan harapan yang menipis. Jurang antara pernyataan dan kenyataan terasa kejam bagi mereka yang kehilangan orang tercinta.
Tragedi ini bukan lagi sekadar bencana alam. Ia adalah kisah manusia yang ditinggalkan di saat paling membutuhkan. Di dunia yang saling menolong ketika bencana datang, penutupan diri menjadikan rakyat sebagai korban berlapis—pertama oleh banjir, kedua oleh keputusan yang menjauhkan pertolongan.
Apa yang terjadi hari ini akan hidup lama dalam ingatan para ibu yang kehilangan anaknya, para orang tua yang dikuburkan tanpa upacara, dan anak-anak yang belajar terlalu dini tentang lapar. Ketika rakyat meninggal di pengungsian dan pintu bantuan dunia tertutup, yang diuji bukan hanya kapasitas negara, tetapi hati nurani kita sebagai manusia. Dunia sedang menyaksikan—dan air mata ini tidak boleh sia-sia.

















