Tragedi Kemanusiaan Pasca Banjir  Indonesia 

- Editor

Minggu, 21 Desember 2025 - 04:43

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Banda Aceh/Tribuneindonesia.com

Di sebuah sudut pengungsian yang lembap dan gelap, seorang ibu menggenggam tangan anaknya yang dingin. Tidak ada lagi yang bisa ia berikan selain pelukan. Makanan telah habis sejak kemarin, air bersih hanya seteguk yang dibagi bergiliran, dan malam turun tanpa obat, tanpa selimut, tanpa kepastian. Ketika fajar datang, anak itu tidak lagi bangun.

Pasca banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, penderitaan warga tidak berakhir saat air surut. Justru di pengungsian lah tragedi paling sunyi terjadi. Relawan dan warga melaporkan korban yang meninggal bukan karena terseret arus, melainkan karena kelaparan, kelelahan ekstrem, dan ketiadaan bantuan dasar. Kematian yang datang perlahan, tanpa suara, tanpa sorotan.

Di tenda-tenda darurat, lansia duduk memeluk lutut, tubuh mereka lemah menahan lapar berhari-hari. Anak-anak menangis mencari makan yang tak kunjung datang. Perempuan hamil bertahan dengan sisa tenaga, berharap bantuan tiba sebelum terlambat. Di tempat-tempat ini, waktu berjalan lebih lambat—setiap jam terasa seperti penantian antara hidup dan mati.

Di tengah krisis ini, keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk menolak bantuan kemanusiaan internasional menjadi luka yang paling dalam. Saat dunia menyatakan kesiapan mengirim pangan, obat-obatan, dan tenaga medis, pintu pertolongan justru tertutup. Bagi mereka yang kelaparan di pengungsian, kebijakan itu bukan perdebatan politik—melainkan jarak tipis antara bernapas dan mengembuskan napas terakhir.

Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, menyebut apa yang terjadi sebagai pembiaran terhadap penderitaan manusia. Ketika kemampuan nasional tidak mampu menjangkau seluruh korban secara cepat dan merata, katanya, menolak bantuan dunia berarti membiarkan kematian berjalan pelan, satu demi satu, di hadapan mata.

Baca Juga:  Trans Manado Resmi Beroperasi, Wali Kota Tekankan Konsistensi Layanan

Di banyak lokasi, krisis pangan dan air bersih berlangsung berhari-hari. Layanan kesehatan nyaris tak ada. Bantuan datang terlambat atau tidak merata. Mereka yang paling rapuh—anak-anak, lansia, perempuan hamil—menjadi yang pertama tumbang. Tidak ada sirene. Tidak ada pengumuman. Hanya tangis pelan dan kain penutup jenazah.

Sementara itu, narasi resmi menyebut situasi “terkendali”. Namun di pengungsian, kendali itu terasa asing. Relawan dan saksi mata menggambarkan kondisi darurat akut: perut kosong, tubuh menggigil, dan harapan yang menipis. Jurang antara pernyataan dan kenyataan terasa kejam bagi mereka yang kehilangan orang tercinta.

Tragedi ini bukan lagi sekadar bencana alam. Ia adalah kisah manusia yang ditinggalkan di saat paling membutuhkan. Di dunia yang saling menolong ketika bencana datang, penutupan diri menjadikan rakyat sebagai korban berlapis—pertama oleh banjir, kedua oleh keputusan yang menjauhkan pertolongan.

Apa yang terjadi hari ini akan hidup lama dalam ingatan para ibu yang kehilangan anaknya, para orang tua yang dikuburkan tanpa upacara, dan anak-anak yang belajar terlalu dini tentang lapar. Ketika rakyat meninggal di pengungsian dan pintu bantuan dunia tertutup, yang diuji bukan hanya kapasitas negara, tetapi hati nurani kita sebagai manusia. Dunia sedang menyaksikan—dan air mata ini tidak boleh sia-sia.

Berita Terkait

‘Hidup Jaya Mati Sempurna’ Konsistensi Jamaah Laduna Ilma dalam Balutan Ukhuwah dan Kajian Qur’ani
Banjir Membongkar Ilegal Logging dan Kegagalan Tata Kelola saat Indonesia Menolak Bantuan Internasional
Berlaku 1 Januari, Kenaikan UMP Sulut 2026 Diharapkan Seimbangkan Kesejahteraan dan Investasi
​Hari Pertama Operasi Lilin, AKBP Albert Zai Cek Kelayakan Pos Pengamanan dan Pelayanan di Bitung
Kapolsek Matuari Pimpin Langsung Pengamanan Rally Christmas 2025 di Stadion Dua Sudara
2 Anggota Mapala Himalaya UISU Bersama Relawan Gayo Sukses Salurkan 5,7 Ton Beras ke Kcamatan Rusip Antara
Gubernur Aceh Muzakir manaf Hari ini Tinjau Jembatan Putus
Anak Korban Banjir Aceh Dapat Pendidikan Gratis, HRD Apresiasi Abiya Kuta Krueng
Berita ini 10 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 21 Desember 2025 - 06:29

Transisi Energi Bersih, Arief Martha Rahadyan Ajak Semua Elemen Bangsa Bersinergi

Minggu, 21 Desember 2025 - 06:02

Rajab dan Sya’ban Momentum Muhasabah, Arief Martha Rahadyan Ajak Umat Bersiap Menuju Ramadhan

Sabtu, 20 Desember 2025 - 09:51

Arief Martha Rahadyan: Hilirisasi dan Investasi Kunci Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Jumat, 19 Desember 2025 - 17:46

Berharap pada Allah SWT, Tenang

Jumat, 19 Desember 2025 - 09:41

Pasca Bencana Alam Hidrometeorologi Bendera Merah Putih Berkibar Di Aceh Tengah

Jumat, 19 Desember 2025 - 07:43

Arief Martha Rahadyan: Selamat Hari Bela Negara 2025, Teguhkan Komitmen Bersama untuk Indonesia Maju

Rabu, 17 Desember 2025 - 03:38

Meningkatkan Potensi Sektor Perikanan di Payangan untuk Kesejahteraan Masyarakat

Selasa, 16 Desember 2025 - 10:15

Banjir Dua Pekan, Luka Kemanusiaan, dan Pengkhianatan Nurani di Batang Kuis Ketika Warga Tenggelam,10 Pegawai Puskesmas Justru Pergi Berwisata

Berita Terbaru

Sosial

Tragedi Kemanusiaan Pasca Banjir  Indonesia 

Minggu, 21 Des 2025 - 04:43