Bitung,Sulut|Tribuneindonesia.com
Pulau Lembeh, yang dikenal sebagai salah satu ‘pulau abadi’ di Kota Bitung, Sulawesi Utara, kini dilanda ancaman serius, Senin (25/11/25).
Aktivitas pemotongan bangkai kapal Tongkang yang diduga kuat ilegal dan dilakukan di pesisir pantai telah memicu polusi udara dan laut, membahayakan ekosistem maritim dan kesehatan masyarakat setempat.
Aktivitas destruktif ini diketahui dijalankan oleh seorang pengusaha lokal yang dikenal dengan sapaan Ko’ Robby. Lokasi pemotongan kapal yang berada persis di pinggiran pantai menimbulkan kekhawatiran besar akan tumpahan material berbahaya langsung ke perairan, habitat penting bagi keanekaragaman hayati laut.
Hasil investigasi awal yang dilakukan oleh awak media pada (25/11) menguatkan dugaan bahwa kegiatan pemotongan kapal berskala industri ini berlangsung tanpa mengantongi kelengkapan dokumen perizinan yang sah dari instansi pemerintah terkait.
Padahal, sesuai regulasi yang berlaku, setiap kegiatan pemotongan kapal wajib memenuhi berbagai persyaratan legal, termasuk yang paling krusial adalah Izin Lingkungan, seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat.
Selain izin lingkungan, perusahaan sejenis seharusnya juga memiliki Izin Usaha Industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian, Izin Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta Sertifikat Pemotongan Kapal yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan atau Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla).
Dampak polusi ini sangat berbahaya, mengingat proses pemotongan bangkai kapal lazim melepaskan berbagai material beracun.
Beberapa bahan berbahaya yang terkandung dalam kapal tua dan dapat mencemari perairan, antara lain Asbes, Polychlorinated Biphenyls (PCB), Timbal (Pb), dan Merkuri (Hg).
Asbes, misalnya, dikenal sebagai karsinogen yang dapat menyebabkan kanker paru-paru, sementara PCB dan Merkuri berpotensi merusak sistem saraf dan ginjal, tidak hanya pada biota laut, tetapi juga pada manusia yang terpapar.
Bahan-bahan lain seperti sisa Bahan Bakar Minyak, Logam Berat (Tembaga, Seng, Nikel), serta berbagai Bahan Kimia Berbahaya lainnya juga turut mengancam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut, rantai makanan, serta berkontribusi pada hilangnya biodiversitas.
Ironisnya, Ko’ Robby sebagai pemilik usaha tampak mengabaikan peringatan dan standar keselamatan lingkungan yang berlaku, mengutamakan keuntungan pribadi tanpa memikirkan dampak merusak jangka panjang bagi lingkungan dan makhluk hidup.
menyikapi hal tersebut Ketua Bela Negara Provinsi Sulut, Adrianto Kaiko mengecam keras atas tindakan tersebut.
“Kami meminta agar APH serta Pemerintah Daerah agar menindak tegas, siapapun yang terbukti terlibat dalam kegiatan tersebut.”
ketus ustad Adrianto yang juga menjabat sebagai Ketua Ratu Prabu 08 Tim Pemenangan Prabowo Gibran.
Tak hanya itu, beberapa warga sekitar Pulau Lembeh telah membeberkan ketidaksetujuan mereka terhadap aktivitas pemotongan kapal di wilayah tersebut.
Namun, muncul dugaan yang diungkapkan warga bahwa pengusaha tersebut merasa dilindungi oleh “kekuatan besar” sehingga kegiatan tetap berjalan tanpa hambatan.
Melanjutkan kegiatan yang kuat dugaan tanpa izin ini, Ko’ Robby berpotensi besar dijerat dengan pasal-pasal pidana berlapis.
Salah satunya adalah Pasal 40 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp10 miliar bagi yang beraktivitas tanpa izin lingkungan.
Jeratan hukum juga dapat dikenakan melalui Undang-Undang lain, seperti Pasal 21 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian terkait izin usaha, dan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terkait standar K3.
Atas kondisi kritis ini, desakan keras disuarakan agar seluruh instansi terkait, khususnya Aparat Penegak Hukum (APH), segera bertindak cepat.
Mereka diminta untuk meninjau langsung lokasi dan menghentikan kegiatan ilegal yang telah menyangkut keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat di “Kota Cakalang” ini.
Masyarakat menanti peran aktif para pemangku kepentingan, jangan sampai mereka hanya menjadi penonton, sementara pelaku usaha ilegal merusak warisan alam Pulau Lembeh demi kepentingan pribadi. (Tim)

















