Sajadah yang Kembali Disentuh Ketika Manusia Pulang dalam Sujud

- Editor

Sabtu, 19 Juli 2025 - 05:32

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Penulis : Ilham Gondrong

Malam itu begitu sunyi. Langit menutup dirinya dengan pekat yang nyaris tak berujung. Angin seolah enggan berembus. Alam seperti sengaja memberi ruang pada sebuah peristiwa yang tak terlihat, tapi terasa begitu dalam.

Di sudut sebuah ruangan kecil yang lama tak disentuh, terbentang selembar sajadah tua. Sajadah itu tidak lagi harum seperti dahulu. Warnanya memudar, serat-seratnya mulai longgar, dan debu-debu halus menempel tanpa pernah dibersihkan. Namun, ia tetap terhampar di sana diam, setia menunggu.

Entah berapa lama sajadah itu terabaikan. Dulu, ia sering menjadi saksi air mata, tawa, permohonan, dan syukur. Kini, ia hanya menjadi benda mati yang nyaris tak dianggap keberadaannya. Tapi malam itu berbeda. Ada yang kembali.

Langkah kaki seorang anak manusia terdengar pelan, nyaris tak menimbulkan bunyi. Ia berjalan ragu namun pasti, menyusuri ruang gelap, seakan mencari sesuatu yang telah lama hilang dari jiwanya. Pandangannya tertumbuk pada tempayan kecil di sudut ruang. Ia berhenti.

Tangannya menyentuh air. Dingin.

Satu demi satu gerakan wudhu ia lakukan dengan khusyuk—membasuh tangan, wajah, kepala, lalu kedua kakinya. Tak ada kata, hanya detik-detik hening yang berisi pertanda: bahwa ia sedang bersiap menyapa Sang Pemilik Semesta.

Lalu ia mendekat ke sajadah itu yang lesuh, berdebu, dan nyaris dilupakan. Tangannya menyapu lembut permukaannya. Sejenak ia terdiam. Lalu ia duduk, dan bersimpuh.

Sajadah itu kembali menjadi saksi.

Sujud pertama begitu panjang. Seolah seluruh beban yang selama ini ia pikul ditumpahkan di sana. Bukan hanya tubuhnya yang rebah, tetapi juga hatinya. Ia rapuh. Hancur. Tapi itulah awal dari kebangkitan.

Mulutnya mulai berbisik. Kata-kata yang tak pernah ia ucapkan pada siapa pun akhirnya keluar tentang luka, tentang rindu, tentang harapan yang sempat padam. Tentang kegagalan, kehilangan, dan dosa yang tak terhitung jumlahnya.

Sajadah itu tidak menjawab. Tapi ia mendengar. Ia menjadi saksi sebuah kepulangan.

Malam itu, bukan hanya tubuh yang bersujud. Jiwa juga ikut rebah. Setelah sekian lama berjalan jauh dari cahaya, anak manusia itu akhirnya kembali menemukan jalan pulangnya. Ia kembali ke asalnya ke tempat di mana ia seharusnya bersandar sejak awal: pada Tuhan.

Sajadah tua itu tak lagi lesuh. Ia kini hidup. Tidak secara fisik, tapi secara makna. Ia kembali menjalankan takdir sucinya menjadi tempat manusia bertemu dengan Tuhannya. Menjadi saksi air mata yang bukan karena dunia, tapi karena kerinduan akan kasih Ilahi yang sempat dilupakan.

Berapa banyak dari kita yang memiliki sajadah yang sama?
Tidak dalam bentuk kain, tapi dalam bentuk kesempatan.
Kesempatan untuk kembali, untuk bersujud, untuk memohon ampun, untuk berdialog dengan Tuhan tanpa perantara.
Tapi berapa banyak dari kita yang menunda, melupakan, mengabaikan?

Baca Juga:  Opini : Mundurnya Kepala Dinas Perhubungan Langsa, Sinyal Perubahan atau ?

Sajadah tidak pernah menuntut. Ia tidak pernah marah karena dilupakan. Ia tidak menagih rindu. Tapi malam itu, ia membuktikan satu hal: bahwa ia akan selalu menunggu. Seperti Tuhan yang tak pernah lelah menunggu hamba-Nya untuk pulang.

Kita terlalu sering sibuk dengan dunia. Terlalu banyak agenda, terlalu banyak ambisi, terlalu banyak alasan untuk tak menyempatkan diri duduk di atas sajadah. Kita lupa, bahwa dalam sujud itu ada kelegaan, ada jawaban, ada penyembuhan.

Malam itu, sajadah tua menjadi jembatan. Menghubungkan langit dan bumi. Mengantar seorang manusia kembali ke rumah rohaninya.

Di luar sana, alam ikut diam. Bulan tak bersinar terang, tapi cukup untuk menemani. Angin tak menderu, tapi cukup untuk menyentuh. Seakan seluruh semesta ikut menjadi saksi. Bahwa malam itu, seorang manusia kembali menemukan cahaya di tengah kegelapan.

Kita semua, cepat atau lambat, akan mengalami malam seperti itu. Malam di mana dunia terasa sunyi, dan hati terasa kosong. Malam di mana tidak ada siapa pun yang bisa kita andalkan kecuali Dia. Dan saat itu tiba, mungkin sajadah yang sudah lama terlipat di lemari, berdebu, dan tak pernah disentuh, akan menjadi sahabat terbaik kita.

Sajadah bukan sekadar alas shalat. Ia adalah lambang kerendahan hati, simbol komunikasi paling jujur antara manusia dan Penciptanya. Ia tak peduli siapa kita hari ini berdosa atau tidak, kaya atau miskin, terkenal atau tak dikenal. Yang ia tahu, ketika kita bersujud di atasnya, kita semua sama: hamba yang sedang pulang.

Malam itu, tidak ada lampu sorot. Tidak ada kamera. Tidak ada penonton. Tapi itu adalah momen paling agung dalam hidup seorang manusia. Ia kembali mengenal Tuhannya. Ia kembali mengenali dirinya sendiri.

Sajadah yang lesuh kini tidak lagi sendiri. Ia telah menemukan kembali fungsinya. Dan manusia itu pun telah menemukan makna hidup yang selama ini hilang. Sujudnya malam itu bukan yang terakhir. Tapi yang pertama dari perjalanan panjang menuju ampunan, ketenangan, dan cinta sejati dari Tuhan.

Mungkin kita semua perlu membuka lemari, menatap sajadah kita masing-masing. Menyapunya dari debu, membentangkannya kembali, dan bertanya pada diri sendiri:

“Sudah berapa lama aku lupa pulang?”

Ilham TribuneIndonesia.com

Berita Terkait

FEIBC Merayakan Kehangatan Keluarga dan Semangat Bangsa dalam Gathering Oktober 2025: Feiby Josefina Pimpin Semangat ‘Fun, Elegant, Inspiring’
Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe di Bumi Serambi Mekkah
Asal Jadi! Revitalisasi SDN Cikayas 3 Digeruduk Sorotan — Pengawasan Lemah, Kualitas Diragukan, Kepala Sekolah Bungkam
Bagaimana Aku Takut pada Kemiskinan, Sedang Aku Hamba dari Dia yang Maha Kaya
Peran ibu bupati aceh timur di garis depan melawan stanting melalui Edukasi Perilaku Higienis dan racun lingkungan
Jebakan Komunitas “Iming-Iming Impian”: Cuci Otak Berkedok Peluang, Janjikan Mobil hingga Rumah Miliaran
“Jaksa Tidur, Koruptor Tertawa: Publik Desak Jaksa Agung Bongkar Kebekuan Hukum di Daerah”
Ketika Disiplin Dianggap Kekerasan: Dunia Pendidikan yang Kian Retak
Berita ini 41 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 30 Oktober 2025 - 19:31

14 Aksi Demi Narkoba: Polsek Medan Baru Menguak Operasi Gelap Komplotan Begal Sadis

Kamis, 30 Oktober 2025 - 19:01

Ketegasan atau Formalitas ? Mengulik Proses Patsus Tiga Personel Polda Sumut Pasca Tabrakan di depan Tiger Club

Kamis, 30 Oktober 2025 - 18:42

Saat Seragam Ternoda di Jalan Merak Jingga: Polda Sumut Uji Integritas di Tengah Sorotan Publik

Kamis, 30 Oktober 2025 - 16:18

Pungli Parkir Siantar Cerminkan Lemahnya Pengawasan Dishub Siantar

Kamis, 30 Oktober 2025 - 14:54

Sinergi Damai di Kota Pelabuhan, Bitung Siapkan Perayaan Lintas Agama Desember 2025

Kamis, 30 Oktober 2025 - 12:01

Personel BNN Pidie Jaya Raih Tiket Umrah Gratis dari Kapolda Aceh

Kamis, 30 Oktober 2025 - 09:33

Desain Siap Bangun Pemko Medan: Terobosan Inovatif atau Sekedar Prototipe di Sistem ?

Kamis, 30 Oktober 2025 - 06:06

​Perkuat Citra “Polisi Humanis”, Polres Bitung Sumbang Darah di Momen Hari Jadi Humas Polri

Berita Terbaru

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x