PANDEGLANG|TribuneIndonesia.com
Proyek Peningkatan Jalan Sukawaris–Tanjungan Segmen I di Kabupaten Pandeglang kembali memantik sorotan tajam publik. Proyek dengan nilai fantastis Rp 10.538.810.000,00 yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2025, dan dilaksanakan oleh PT Kongsi Baru di bawah naungan Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Banten, Satuan Kerja PJN Wilayah 2.2, diduga kuat tidak memenuhi standar teknis maupun keselamatan kerja.
Pantauan langsung tim Gabungan Organisasi Wartawan Indonesia (GOWI) di lokasi proyek menemukan sejumlah kejanggalan mencolok. Beberapa pekerja tampak tidak mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) sebagaimana diwajibkan dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Lebih parah lagi, pada bagian pondasi dasar Tembok Penahan Tanah (TPT), terlihat indikasi kuat bahwa batu kali disusun tanpa menggunakan adukan semen, yang tentu berpotensi mengancam kekuatan dan daya tahan struktur.
“Kalau pondasi dasar TPT tidak pakai adukan, itu jelas berpotensi mengurangi kekuatan konstruksi. Belum lagi pekerja tanpa APD — ini pelanggaran serius terhadap aturan keselamatan,”
ujar salah satu aktivis pemerhati pembangunan di Pandeglang, Senin (27/10/2025).
Ketika dikonfirmasi, pihak Konsultan Pengawas PT Arkade Gahana Konsultan, Vidia, mengakui adanya pelanggaran di lapangan.
“Terkait pekerja yang tidak menggunakan K3, kami akan memberikan surat teguran terlebih dahulu. Kami setiap hari ada di lokasi, dari pukul 08.00 hingga 16.00,” ujarnya singkat.
Sementara itu, Hidayat, yang mengaku sebagai mandor lapangan PT Kongsi Baru, justru memberikan pernyataan yang terkesan defensif dan tidak profesional.
“Soal APD sudah kami instruksikan, tapi kadang masyarakat di sini susah diatur. Kami baru kasih helm dan rompi, sepatu boot dan sarung tangan belum. Kami juga selalu minta arahan dari pengawas, gak mungkin mau rugi,” ujarnya dengan nada menantang.
Pernyataan tersebut justru memperkuat dugaan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021, diabaikan secara terang-terangan oleh pihak pelaksana proyek.
Selain aturan K3, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dengan tegas menyatakan bahwa setiap penyedia jasa wajib melaksanakan pekerjaan sesuai spesifikasi teknis dan menjamin mutu hasil pekerjaan.
Namun, fakta di lapangan memperlihatkan kondisi sebaliknya. Pekerja bekerja tanpa perlindungan, sementara material pondasi diduga tidak sesuai dengan spesifikasi teknis.
Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan besar terkait fungsi pengawasan konsultan proyek dan tanggung jawab BPJN Banten selaku penanggung jawab teknis di lapangan. Jika benar ditemukan unsur kelalaian, maka konsultan maupun pelaksana dapat dianggap melanggar ketentuan Pasal 67 UU Jasa Konstruksi, yang mengatur sanksi atas pelanggaran profesional.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) DPC Pandeglang, Jaka Somantri, mengecam keras lemahnya pengawasan dan dugaan kelalaian di proyek bernilai miliaran rupiah tersebut.
“Jangan biarkan proyek sebesar ini dikerjakan asal-asalan. Pekerjaan fisik harus memenuhi standar teknis, dan keselamatan pekerja wajib diprioritaskan. Kami mendesak BPJN Banten dan konsultan pengawas turun langsung dan menindak tegas pelaksana jika terbukti lalai,”
tegas Jaka.
Ia juga menambahkan bahwa dugaan pelanggaran semacam ini bisa berdampak panjang terhadap kualitas infrastruktur dan kepercayaan publik terhadap proyek pemerintah.
“Kalau sejak pondasi saja sudah asal jadi, jangan heran kalau umur jalan tidak lama. Uang negara jangan dipermainkan,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BPJN Banten maupun Satker PJN Wilayah 2.2 belum memberikan tanggapan resmi atas temuan di lapangan.
Publik kini menanti sikap tegas instansi terkait agar proyek senilai Rp 10,5 miliar tersebut tidak berubah menjadi simbol lemahnya pengawasan dan rendahnya integritas pelaksana proyek di daerah.”(Tim/red)















