Oleh : Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Dalam masyarakat Gayo dan sekitarnya, istilah “ogoh olok” atau “olok ogoh” kerap muncul dalam obrolan sehari-hari. Meski terdengar sepele, ungkapan ini menyimpan makna tajam yang layak dikupas. Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia, frasa ini berarti “bodoh sekali” atau “sekali bodoh”. Tapi apakah keduanya sama?
Ternyata tidak. Ada garis tipis namun penting yang membedakan keduanya, bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam cara kita menilai kesalahan dan kemampuan berpikir.
Ogoh Olok (Bodoh Sekali): Ketika Kesalahan Diulang-ulang
“Ogoh olok” mengacu pada kebodohan yang keterlaluan. Bodoh yang bukan karena tak tahu, tapi karena menolak tahu. Ini bukan tentang kekurangan informasi, tapi tentang keras kepala, malas belajar, dan tak mau introspeksi.
Misalnya, seorang pejabat yang sudah diberi data dan masukan publik, namun tetap membuat kebijakan merugikan rakyat, itu bukan lagi salah langkah, itu ogoh olok. Atau seorang tokoh yang tahu fakta tapi sengaja menyebar hoaks demi kepentingan politik. Bodoh atau jahat? Mungkin keduanya.
Ciri-ciri “ogoh olok”:
- Sudah tahu tapi pura-pura tak tahu.
- Sudah diingatkan tapi mengulangi kesalahan yang sama.
- Merasa paling benar padahal nyata-nyata salah.
Kebodohan seperti ini tak bisa dimaafkan begitu saja karena bukan hasil keterbatasan, tapi hasil pilihan.
Olok Ogoh (Sekali Bodoh): Titik Awal yang Masih Bisa Diperbaiki
Sementara “olok ogoh” bisa diartikan sebagai kebodohan yang terjadi satu kali. Ini adalah bentuk kebodohan manusiawi, karena kurang pengalaman, belum cukup belajar, atau salah mengambil keputusan.
Semua orang pernah “olok ogoh”. Guru pernah salah mengajar. Wartawan bisa salah kutip. Pemimpin bisa salah strategi. Tapi justru dari “olok ogoh” inilah orang belajar dan tumbuh. Kesalahan sekali itu bukan kehinaan, asal tidak diulang.
Ciri-ciri “olok ogoh”:
- Terjadi karena belum paham, bukan karena enggan tahu.
- Disertai kesadaran untuk memperbaiki.
- Ada kemauan belajar dari pengalaman.
Dengan kata lain, “olok ogoh” adalah kebodohan yang bisa dimaklumi, selama kita tidak nyaman hidup di dalamnya.
Pilih Mana: Bodoh Sekali, atau Sekali Bodoh?
Kita semua pernah “sekali bodoh”. Tapi apakah kita tetap di sana dan menjadi “bodoh sekali”? Itu yang membedakan orang yang bertumbuh dengan mereka yang terjebak dalam lingkaran kebodohan.
Kesalahan bukan akhir, tapi justru awal dari perbaikan, jika kita mau belajar, mendengar, dan berubah. Tapi jika terus mencari pembenaran, menolak koreksi, dan menyalahkan orang lain, maka itulah “ogoh olok” yang sesungguhnya.
Dalam hidup ini, tidak salah menjadi “sekali bodoh”. Tapi amat disayangkan jika kita berubah menjadi “bodoh sekali” karena enggan belajar. Maka bijaklah menghadapi kesalahan: akui, perbaiki, dan jangan ulangi.
Karena yang membedakan orang cerdas dan ogoh, bukan gelar atau jabatan, tapi kemauan untuk berubah.