Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Cerita tentang Bank Syariah Indonesia (BSI) seakan tak pernah habis menghiasi ruang publik di Aceh. Sejak awal kehadirannya melalui proses merger bank-bank syariah milik BUMN, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah, hingga menjadi satu entitas besar bernama BSI, dinamika yang terjadi di Aceh tidak selalu manis.
Masyarakat Aceh, yang sejak diberlakukannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya memiliki dua pilihan perbankan, Bank Aceh Syariah milik Pemerintah Aceh dan BSI sebagai representasi bank syariah nasional, merasa terpinggirkan dalam sejumlah kebijakan korporasi yang sering kali tidak berpijak pada realitas lokal. Ketika dulu BSI hadir menggantikan bank-bank konvensional, publik Aceh berharap akan lahir lembaga keuangan syariah yang lebih solutif, responsif, dan dekat dengan masyarakat. Namun harapan itu kerap dibenturkan dengan kenyataan pahit, mulai dari pelayanan yang dianggap lambat, proses adaptasi yang membingungkan, hingga keluhan-keluhan teknis dan struktural lainnya.
Kini, cerita itu belum juga tuntas, muncul lagi rencana besar yang menambah kerisauan: pemindahan kendali BSI dari Bank Mandiri ke Danantara, sebuah lembaga investasi milik negara atau sovereign wealth fund (SWF). Langkah ini disebut-sebut sebagai bagian dari upaya efisiensi dan penguatan struktur keuangan negara. Bagi sebagian, ini peluang emas untuk memperkuat peran BSI dalam kancah global. Namun bagi yang lain, khususnya di Aceh, ini justru menjadi lampu kuning.
Pertanyaannya sederhana namun penting: dalam rencana besar ini, apakah kepentingan dan karakteristik masyarakat Aceh yang unik sudah menjadi pertimbangan utama?
Masyarakat Aceh tidak hanya menjalani sistem keuangan berbasis syariah karena pilihan bebas, tetapi karena kewajiban hukum daerah melalui Qanun. Artinya, ruang bagi masyarakat untuk berpindah atau membandingkan layanan keuangan sangat terbatas. Dalam konteks seperti ini, kualitas layanan, keterlibatan publik, serta transparansi kebijakan menjadi sangat krusial. Jangan sampai, karena kendali dipindah ke tangan lain, sekalipun milik negara, BSI malah makin jauh dari denyut nadi kebutuhan masyarakat lokal.
Sebuah bank syariah semestinya tidak hanya kuat dari sisi aset dan portofolio, tetapi juga harus hadir sebagai institusi yang berkeadilan sosial, berpihak pada rakyat kecil, dan peka terhadap nilai-nilai lokal. Jika orientasi ke depan hanya didominasi oleh logika korporasi dan investasi semata, maka BSI bisa kehilangan legitimasi sosialnya, khususnya di Aceh.
Maka dari itu, sebelum semua ini menjadi kenyataan, pemerintah pusat maupun manajemen BSI harus membuka ruang dialog yang jujur dengan publik Aceh. Dengarkan aspirasi, buka data, dan libatkan daerah dalam setiap keputusan strategis yang berdampak langsung terhadap sistem keuangan lokal. Jangan ulangi kesalahan masa lalu di mana Aceh hanya dijadikan objek kebijakan, bukan subjek yang dihargai pandangannya.
Kepercayaan rakyat Aceh bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan slogan dan program sesaat. Ia dibangun lewat konsistensi, keadilan, dan penghormatan terhadap otonomi daerah. Semoga BSI belajar dari sejarah, dan tidak lagi mengulang cerita lama dengan narasi baru yang tetap menyisakan luka yang sama.
Hari ini, banyak rakyat berharap bank konfesional kembali ke Aceh walau dalam bentuk apapun. Aceh seperti daerah yang terkengkung, tanpa sebuah pilihan. Apa yang terjadi hari ini seperti buah simalakama, ngak di makan lapar di makan racun. Pemerintah pusat silahkan saja membuat aturan apapun terhadap BSI, tapi ketahuilah bahwa rakyat Aceh yang merasakan imbas utama dari sebuah transisi dari kebijakan tersebut.
Catatan Redaksi : Opini ini adalah pandangan pribadi penulis dari fakta yang terjadi dan pengalaman.