Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Aku lahir dan tumbuh di sebuah kota kecil di Aceh, Langsa namanya. Kota yang tak pernah benar-benar gaduh, tetapi juga tak sepenuhnya sunyi. Di sanalah aku mengenal hidup dalam kesederhanaan, di lingkungan yang biasa-biasa saja, tanpa privilese, tanpa panggung besar. Namun justru dari ruang yang sederhana itulah, pelan-pelan, kesadaran tentang kata, nurani, dan tanggung jawab sosial tumbuh dalam diriku.
Perjalanan pendidikanku mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang. Aku pernah mengenyam sekolah dasar di dua kabupaten berbeda, melanjutkan sekolah menengah di dua kabupaten pula. Sekolah lanjutan atas kujalani di dua sekolah kejuruan, lalu kuliah pun tak lurus: dua jurusan pernah kutempuh, manajemen dan hukum ekonomi syariah. Jalur yang berkelok, tidak rapi, tidak ideal jika dilihat dari kacamata administratif. Namun dari situlah aku belajar satu hal penting: hidup tak selalu berjalan lurus, dan pengetahuan tak pernah datang dari satu pintu saja.
Menjadi penulis bagiku bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah akumulasi dari proses panjang yang mungkin tidak kusadari sepenuhnya saat itu. Sejak remaja, aku sudah bersentuhan dengan dunia tulis-menulis. Aku pernah mengelola majalah dinding ketika aktif di remaja masjid, sebuah ruang kecil yang mengajarkanku bagaimana merangkai kata dan menyampaikan gagasan. Di era 90-an, aku menjadi anggota Sahabat Pena binaan Kantor Pos Indonesia, sebuah pengalaman yang hari ini mungkin terdengar romantik: berkirim surat, menunggu balasan berhari-hari, dan merawat persahabatan lewat tulisan tangan.
Tak berhenti di sana, aku pernah menjadi penyiar radio, belajar menyampaikan pesan lewat suara, intonasi, dan kejujuran ekspresi. Aku juga pernah bekerja di penerbit buku, menyaksikan bagaimana gagasan diolah, disunting, dan akhirnya lahir sebagai karya yang bisa dibaca banyak orang. Semua pengalaman itu membentuk fondasi batin dan intelektualku sebagai penulis.
Prinsip menulisku sederhana, tetapi sering kali mahal harganya, menyampaikan apa yang terjadi, apa adanya; menulis tentang harapan; dan menjalankan fungsi tulisan sebagai kontrol sosial. Aku tidak menulis untuk ABS (asal bapak senang). Aku tidak menulis karena takut tidak dekat dengan penguasa, takut tak diberi amplop, atau karena menjadi bagian dari tim pemenangan siapa pun. Bagiku, tulisan bukan alat tawar-menawar kekuasaan, melainkan cermin nurani.
Aku tidak munafik. Aku sadar bahwa hidup membutuhkan biaya, dan manusia memiliki kebutuhan. Tetapi kebutuhan yang diperoleh dengan mengorbankan hati nurani bukanlah rezeki yang menenangkan. Kita tahu, ada orang-orang yang menulis, tetapi setiap karya jurnalistiknya terasa berat di hati, karena apa yang ditulis bertolak belakang dengan apa yang diyakini. Aku tidak ingin berada di posisi itu menjadi penulis yang karyanya justru menghukum batinnya sendiri.
Aku sadar, aku hanyalah penulis biasa. Modal utamaku bukan keturunan intelektual besar atau jaringan elite, melainkan pelatihan, uji kompetensi, dan sertifikasi yang kuikuti dari beberapa lembaga, seperti Dewan Pers, BNSP, dan salah satu lembaga sertifikasi jurnalis nasional. Semua itu bukan untuk gagah-gagahan, melainkan sebagai ikhtiar menjaga profesionalisme dan tanggung jawab.
Dengan pengalaman yang seadanya itu, alhamdulillah aku pernah dipercaya mengadakan tiga kali pelatihan jurnalis dasar, masing-masing pada tahun 2021, 2023, dan 2025. Bagi sebagian orang mungkin itu kecil, tetapi bagiku itu adalah cara berbagi, cara mengembalikan apa yang pernah kupelajari kepada generasi berikutnya. Karena menulis bukan hanya soal menghasilkan karya, tetapi juga tentang menumbuhkan ekosistem berpikir kritis.
Aku tidak berasal dari keluarga penulis. Namun ayahku memiliki garis keturunan seniman. Banyak keluarga dari pihak ayah adalah seniman, bahkan pencipta lagu yang hingga hari ini karyanya masih sering dinyanyikan di kampung halaman orang tuaku. Dari sana mungkin aku mewarisi rasa, irama, dan kepekaan. Sementara dari garis ibu, aku mewarisi nilai-nilai religius yang kuat. Perpaduan seni dan agama itulah yang, kusadari atau tidak, membentuk cara pandangku dalam menulis: tajam, tetapi tetap beretika; kritis, tetapi berlandaskan nilai.
Menulis bagiku adalah sebuah kebanggaan. Karena itu, aku merasa malu jika melahirkan karya yang tidak sesuai dengan hati dan batin. Usia pun tak lagi muda. kepala lima sudah kulewati. Di fase hidup ini, aku tidak lagi mengejar pengakuan semu atau tepuk tangan kekuasaan. Aku hanya ingin, kelak, dikenang sebagai seseorang yang memiliki jati diri. Bukan sebagai pecundang yang hidupnya dihabiskan untuk menjilat dan memelas.
Aku memiliki prinsip yang tak ingin kutawar: ide dalam sebuah tulisan tidak akan berubah hanya karena ketakutan. Apalagi takut tidak diakui pejabat. Aku bukan penebar hoaks, bukan penyebar ujaran kebencian. Apa yang ingin kusampaikan dalam tulisan adalah sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang nyata, dan harapan tentang bagaimana seharusnya keadaan diperbaiki.
Di tengah zaman yang bising oleh kepentingan, menulis dengan jujur memang tidak selalu nyaman. Namun bagiku, itulah satu-satunya cara untuk tetap berdamai dengan diri sendiri. Dari Langsa, dari kota kecil yang mungkin sering luput dari peta perhatian, aku memilih untuk terus menulis, menjaga nurani, merawat akal sehat, dan mempertahankan jati diri. Karena pada akhirnya, kata-kata adalah warisan. Dan aku ingin warisan itu lahir dari kejujuran, bukan dari rasa takut.

















