Oleh Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Pembangunan nasional adalah cita-cita besar yang terus digaungkan oleh setiap rezim pemerintahan. Namun, dalam perjalanan panjang bangsa ini, pembangunan kerap dimaknai secara sempit, seolah-olah hanya menyangkut infrastruktur fisik semata. Jalan raya, gedung-gedung tinggi, bandara, dan pelabuhan memang penting, namun pembangunan sejati harus mencakup pembangunan sistem hukum yang kuat dan berkeadilan. Tanpa penegakan hukum yang konsisten dan berpihak pada keadilan, semua capaian fisik akan berdiri di atas fondasi yang rapuh.
Hukum bukan sekadar aturan tertulis yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Ia adalah pilar utama dalam mewujudkan tatanan pembangunan yang tertib, transparan, dan akuntabel. Di tengah upaya akselerasi pembangunan, hukum seharusnya menjadi pengarah agar proses pembangunan tidak menyimpang dari nilai-nilai keadilan dan kepentingan publik. Sayangnya, dalam praktiknya, hukum masih kerap ditempatkan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai sarana pelayanan keadilan.
Kita bisa melihat contoh nyata di banyak daerah. Proyek-proyek strategis nasional sering kali tersandung persoalan hukum—dari perizinan yang tidak jelas, tumpang tindih kebijakan, hingga konflik agraria yang tak kunjung selesai. Di beberapa kasus, masyarakat adat dan petani kecil justru menjadi korban atas nama pembangunan. Mereka digusur tanpa kompensasi yang adil, dan akses mereka terhadap keadilan hukum sangat terbatas. Ini menjadi ironi ketika pembangunan justru menyingkirkan kelompok rentan yang seharusnya dilindungi negara.
Dalam konteks ini, kita harus kembali meninjau posisi hukum dalam kerangka pembangunan nasional. Hukum harus menjadi instrumen untuk melindungi hak warga negara, menjamin kepastian hukum bagi para pelaku pembangunan, serta mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih. Jika hukum hanya ditegakkan secara selektif, tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka pembangunan hanya akan memperbesar ketimpangan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara.
Lemahnya penegakan hukum juga berdampak langsung pada kualitas pembangunan. Ketika proyek-proyek publik dikerjakan tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka korupsi akan tumbuh subur. Laporan-laporan dari lembaga pengawasan menunjukkan bahwa kerugian negara yang timbul dari proyek bermasalah sebagian besar berakar dari pelanggaran hukum dan etika tata kelola. Ini adalah cermin dari kegagalan sistem hukum dalam mengawal proses pembangunan.
Lebih jauh, pembangunan hukum itu sendiri juga masih menghadapi tantangan serius. Reformasi hukum yang digaungkan sejak dua dekade lalu belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Banyak regulasi yang tumpang tindih, lembaga penegak hukum yang bekerja secara sektoral dan tidak terintegrasi, serta masih adanya intervensi politik dalam proses penegakan hukum. Semua ini memperlihatkan bahwa pembangunan hukum belum menjadi prioritas dalam kerangka pembangunan nasional yang utuh.
Namun, harapan belum sepenuhnya pupus. Dalam konteks pembangunan hukum yang adaptif, pendekatan Ilmu Hukum Ekonomi dan Syariah (HES) dapat memberikan perspektif baru. Ilmu HES memadukan logika ekonomi dengan prinsip keadilan syariah yang menekankan pada keseimbangan, kemaslahatan umum, dan perlindungan terhadap kelompok lemah. Ini adalah pendekatan hukum yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral, sosial, dan ekonomi dalam proses pembangunan.
Hukum dalam perspektif HES tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol, tetapi juga sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi yang beretika. Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya alam, pendekatan hukum syariah menuntut adanya keadilan distributif, transparansi, dan pertanggungjawaban. Ini sejalan dengan prinsip good governance dalam pembangunan modern.
Arah pembangunan nasional ke depan harus menempatkan hukum sebagai sentralitas proses pembangunan, bukan sebagai pelengkap belaka. Penegakan hukum yang adil harus menjadi prasyarat sebelum membangun megaproyek atau merancang kebijakan ekonomi jangka panjang. Pemerintah, sebagai aktor utama pembangunan, harus menunjukkan komitmen kuat dalam membenahi institusi hukum dan memberantas segala bentuk penyimpangan hukum.
Selain itu, masyarakat sipil dan akademisi juga memiliki peran strategis untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan memberi kontribusi pemikiran dalam penguatan sistem hukum nasional. Mahasiswa hukum dan para sarjana hukum ekonomi dan syariah memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong lahirnya kerangka hukum yang responsif terhadap tantangan pembangunan dan berpihak pada keadilan sosial.
Pembangunan yang berkeadilan hanya bisa tercapai jika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, regulasi dirancang dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, serta aparat hukum bekerja berdasarkan integritas, bukan kepentingan. Hanya dengan cara itu, kita bisa membangun negeri ini tidak hanya dengan batu dan semen, tetapi dengan nilai dan martabat.(#)
Catatan Penulis:
Chaidir Toweren, saat ini sedang menyelesaikan studi pada Program Ilmu Hukum Ekonomi dan Syariah.















