Oleh: Chaidir Toweren, SE., KJE
Bener Meriah | TribuneIndonesia.com
Langkah Pemerintah Kabupaten Bener Meriah yang baru-baru ini melakukan mutasi terhadap puluhan pejabat eselon III dan IV telah menyulut perbincangan hangat di ruang publik. Momentum ini, yang seharusnya menjadi awal baru dalam pembenahan birokrasi, justru meninggalkan banyak tanya dan tafsir.
Pernyataan Bupati Tagore Abubakar saat pelantikan menjadi titik api dari keresahan itu. “Mutasi ini bertujuan untuk kemajuan daerah. Dan perlu diketahui, kondisi Bener Meriah hari ini tidak baik-baik saja diakibatkan pemimpin sebelumnya,” ujar Tagore, sebagaimana dikutip dari sejumlah media.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap birokrasi, narasi ini mengesankan bahwa kepemimpinan saat ini tengah mencari pembenaran, bukan solusi. Kritik terhadap warisan pemerintahan sebelumnya tentu sah dan lazim dalam politik, namun bila disampaikan dalam kerangka emosional, alih-alih membangun narasi perubahan, yang terjadi justru polarisasi.
Antara Reformasi dan Revansisme
Mutasi besar-besaran yang dilakukan dalam suasana penuh kekecewaan rawan disalahartikan sebagai tindakan revansisme politik. Bila benar demikian, maka kita sedang menyaksikan satu babak dari siklus yang terus berulang: pemerintahan berganti, dan setiap kali itu terjadi, yang ditinggalkan hanyalah saling tuding dan pembongkaran struktur.
Alih-alih reformasi birokrasi, ini tampak seperti upaya mencari kambing hitam dari sebuah kegagalan kolektif. Sebab, dalam tata kelola pemerintahan, keberhasilan maupun kegagalan adalah hasil kerja (atau abai) dari sistem, bukan semata-mata individu.
Kritik terhadap pemerintahan sebelumnya perlu disampaikan dengan data, bukan dengan generalisasi. Bila benar terdapat kekacauan keuangan dan penempatan pejabat yang tidak profesional, maka langkah perbaikan perlu dibarengi dengan transparansi dan uji publik, bukan sekadar pernyataan politis yang menggiring opini.
Warisan Tak Selalu Cacat, Kepemimpinan Tak Selalu Suci
Setiap pemimpin mewarisi kondisi yang tidak ideal, dan setiap pemimpin juga akan mewariskan sesuatu kepada penerusnya. Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa membangun daerah adalah pekerjaan jangka panjang, lintas rezim, dan melibatkan konsistensi kebijakan, bukan sekadar pergantian kursi.
Kita tidak ingin Bener Meriah menjadi panggung politik sesaat, tempat aktor-aktornya sibuk mempertontonkan drama politik daripada memperbaiki tata kelola. Ketika publik menunggu solusi, yang mereka dapati justru pernyataan emosional dan kebijakan yang terkesan reaktif.
Mutasi bukan sekadar soal mengganti nama dalam struktur birokrasi. Ia adalah tentang harapan baru, arah baru, dan yang paling penting: integritas serta kapabilitas. Bila mutasi dilakukan hanya berdasarkan kekecewaan dan dendam politik, maka kita tidak sedang membangun, tapi meruntuhkan lagi dan lagi.
Rakyat tidak butuh kambing hitam. Mereka butuh kejelasan arah. Bener Meriah tidak akan maju jika pemimpinnya sibuk menengok ke belakang sambil menuding. Maju berarti menatap ke depan dengan keberanian mengambil tanggung jawab penuh , atas apa yang diwariskan, dan apa yang akan ditinggalkan.
Penulis saat ini sedang menyelesaikan studi HES serta aktif menulis dan juga ketua salah satu organisasi pers