Oleh Dr. Muhammad Alkaf / Pengamat Politik dan Sosial
TribuneIndonesia.com
Sejak penandatanganan MoU Helsinki, konstelasi politik Aceh terus bergerak dinamis. Kini, pusat gravitasi politik Aceh tampak berporos pada sosok Muzakkir Manaf atau akrab disapa Mualem. Popularitas Mualem melonjak seiring keberhasilannya dalam menyelesaikan sengketa empat pulau yang selama ini menjadi polemik. Keberhasilan ini bukan hanya simbol prestasi politik, tetapi juga menjadi indikator arah baru kekuasaan di Aceh yang tak bisa diabaikan oleh siapa pun, termasuk partai-partai politik yang masih berharap eksis dalam peta kekuasaan lokal.
Kebangkitan Partai Aceh dan Kuatnya Posisi Mualem
Partai Aceh kembali menjadi kekuatan dominan dalam Pemilu Legislatif terakhir. Kemampuan partai ini menata infrastruktur politik hingga ke akar rumput semakin kokoh, terlebih dengan duduknya Mualem sebagai Gubernur Aceh. Ini menjadikannya bukan hanya sebagai simbol perjuangan, tetapi juga figur sentral yang mengendalikan arah politik dan budaya lokal. Kekuatan personal dan politiknya kini jauh melampaui saat ia hanya menjabat Ketua Partai Aceh atau Ketua KPA.
Koneksi personal Mualem dengan Presiden Prabowo Subianto juga menjadi faktor signifikan dalam mengakselerasi penyelesaian konflik empat pulau. Prabowo bahkan menyebut hubungan keduanya sebagai bagian dari sejarah besar yang dipuji di forum-forum dunia, termasuk di hadapan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini mempertegas bahwa Aceh tak lagi hanya memainkan peran lokal, tetapi menjadi bagian dari diplomasi nasional yang strategis.
PKS Aceh: Bertahan, Tapi Terancam Stagnan
Dalam lanskap politik yang berubah ini, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang lahir dari akar ideologis Partai Keadilan, tampak masih mampu bertahan. Perlahan partai ini bertransformasi dan beradaptasi dengan kultur lokal. Hal ini tercermin dari peningkatan suara dan kursi legislatif di sejumlah kabupaten/kota.
Namun demikian, di level provinsi, PKS mulai menunjukkan gejala stagnasi. Ketidakpuasan internal terhadap kepemimpinan partai mulai mencuat. Riak-riak ini bukan hanya ekspresi ketidakcocokan, melainkan sinyal kegagalan elite partai dalam membaca arah angin politik Aceh yang baru, yang kini cenderung populistik, etno-religius, dan karismatik.
Saatnya Regenerasi: Nasir Djamil sebagai Harapan Baru
Demi menjaga eksistensi dan relevansi PKS di tengah arus perubahan, diperlukan evaluasi menyeluruh, terutama pada kepemimpinan provinsi. Perubahan ini bukan sekadar administratif, tetapi harus bersifat strategis dan radikal, menghadirkan sosok yang mampu membaca dinamika politik Aceh secara tepat dan responsif.
Kriteria figur yang dibutuhkan antara lain:
1. Berpengalaman dalam dinamika politik Aceh pasca-reformasi;
2. Memiliki kapasitas intelektual dan pemahaman kultural tentang Aceh;
3. Diakui secara nasional dan memiliki jaringan kuat;
4. Tangguh dan piawai menghadapi kerasnya gelombang politik lokal.
Sosok yang mampu menjawab kebutuhan ini adalah Nasir Djamil. Sebagai politisi senior PKS yang telah lama malang melintang di panggung nasional dan daerah, Nasir bukan hanya simbol pengalaman, tetapi juga representasi harapan baru bagi PKS dan masyarakat Aceh secara luas. Ia dinilai mampu membangun jembatan antara kepentingan lokal Aceh dan agenda nasional dalam kerangka NKRI.
Di tengah meningkatnya populisme lokal dan ketegangan antara identitas etnik, agama, serta kepentingan nasional, PKS membutuhkan figur kuat untuk bertahan dan berkembang. Jika tidak segera berbenah, partai ini berisiko terpinggirkan oleh dinamika politik Aceh yang kian kompleks dan berorientasi pada figur ketokohan.