Maling Kecil Dihukum, Maling Besar Diberi Jabatan

- Editor

Minggu, 20 Juli 2025 - 08:12

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Oleh : Ilham Gondrong
TribuneIndonesia.com
Dalam dunia yang kerap mengklaim diri menjunjung tinggi keadilan dan supremasi hukum, kenyataan yang kita hadapi sering kali berbanding terbalik. Di balik semboyan penegakan hukum dan perang terhadap korupsi, masih banyak ironi yang menyayat nurani. Salah satunya adalah bagaimana sistem hukum memperlakukan pelaku kejahatan berdasarkan status sosial dan kekuasaan, bukan berdasarkan keadilan sejati.

Seorang pencuri kecil yang mencuri demi bertahan hidup mungkin karena lapar, karena anaknya menangis kelaparan, atau karena tak ada jalan lain dihadapkan dengan hukum yang tegas, cepat, dan tanpa ampun. Ia ditangkap, diborgol, disidang, dan dipenjara. Media mempermalukannya, masyarakat mencibirnya, dan ia pun menjadi simbol dari apa yang disebut “penjahat.”

Di sisi lain, para pencuri kelas kakap yang merampok uang rakyat lewat skema korupsi, penggelapan dana, atau manipulasi proyek negara justru hidup dalam kemewahan. Mereka berdasi rapi, berpidato soal integritas, dan sering tampil di layar televisi sebagai pejabat publik, bahkan tokoh bangsa. Mereka tidak diborgol saat ditangkap, tidak dipermalukan saat disidang, dan ketika akhirnya dijatuhi hukuman, hukumannya sering kali ringan, penuh fasilitas, dan tak jarang berakhir dengan remisi, pembebasan bersyarat, atau bahkan kembalinya mereka ke panggung kekuasaan.

Aesop, filsuf bijak dari Yunani Kuno, pernah menyatakan secara satir namun tajam.

“Kita menghukum maling-maling kecil dan menunjuk maling-maling besar untuk bekerja di pemerintahan.”

Ungkapan ini, meskipun lahir ribuan tahun yang lalu, terasa sangat relevan dengan situasi kita hari ini. Ia tidak hanya menyindir sistem yang timpang, tetapi juga menyoroti hipokrisi moral yang mengakar dalam kehidupan bernegara. Ketika kekuasaan melindungi kejahatan besar dan hanya menghukum pelanggaran kecil, maka keadilan berubah menjadi ilusi. Hukum kehilangan martabatnya, dan rakyat kehilangan kepercayaan.

Fenomena ini bisa kita temui dalam banyak kasus. Lihatlah bagaimana seorang ibu rumah tangga dihukum karena mencuri dua kotak susu, atau pemuda yang dihukum karena mengambil ponsel. Mereka dianggap mencederai hukum. Tapi bagaimana dengan kasus korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah yang hanya berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan pengembalian sebagian kecil uang negara? Bukankah itu bentuk perampokan paling brutal terhadap kesejahteraan rakyat?

Ironi ini menciptakan luka kolektif dalam kesadaran sosial kita. Generasi muda menyaksikan bagaimana kejujuran tidak selalu dibalas dengan penghargaan, dan bagaimana kebusukan bisa naik ke tampuk kekuasaan asalkan dibungkus dengan pencitraan yang canggih. Kita hidup dalam sistem yang mengajarkan bahwa pelanggaran kecil akan dihukum keras, tetapi kejahatan besar bisa dinegosiasikan.

Lebih menyakitkan lagi, banyak dari para “maling besar” ini justru diberi ruang di pemerintahan. Mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pengelolaan anggaran, bahkan diberi kepercayaan untuk mengatur nasib rakyat. Ini bukan sekadar penghinaan terhadap keadilan, tapi juga pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi. Bagaimana mungkin kita berharap kebijakan yang bersih lahir dari tangan-tangan yang kotor?

Baca Juga:  Manusia itu, pada dasarnya, akan selalu mementingkan dirinya sendiri. 

Ketika sistem hukum tidak mampu atau tidak mau menindak kejahatan elite, maka pesan yang sampai ke masyarakat sangat jelas: hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keadilan menjadi milik segelintir orang yang punya kuasa dan akses. Sementara mereka yang miskin, lemah, dan tidak punya “jaringan”, menjadi korban utama dari sistem yang tak berpihak.

Hal ini mengakibatkan dua dampak besar: ketidakpercayaan rakyat terhadap hukum dan tumbuhnya apatisme sosial. Rakyat menjadi skeptis terhadap lembaga penegak hukum, menganggap proses hukum hanya formalitas belaka, dan akhirnya pasrah terhadap ketidakadilan. Apatisme pun meluas: jika maling besar saja bisa bebas dan malah naik jabatan, untuk apa bersikap jujur dan lurus?

Namun, di tengah gelombang keputusasaan ini, penting bagi kita untuk tidak diam. Ungkapan Aesop seharusnya menjadi cambuk yang menyadarkan kita bahwa perubahan tidak akan datang dari atas jika suara di bawah terus dibungkam. Kita tidak bisa lagi menjadi penonton pasif dari drama ketimpangan ini. Kesadaran kolektif harus dibangkitkan, keberanian untuk bersuara harus digalakkan.

Keadilan sejati hanya bisa tercapai jika kita menuntut sistem hukum yang bersih, transparan, dan bebas dari intervensi kekuasaan. Hukum harus kembali ke tujuan aslinya. melindungi yang lemah, menindak yang salah, dan menjaga moralitas publik. Tanpa itu, negara hanyalah panggung sandiwara di mana penjahat tampil sebagai pahlawan, dan rakyat hanya penonton yang tak berdaya.

Kita juga perlu menciptakan budaya politik yang lebih bermartabat, di mana jabatan publik bukan hadiah bagi pelaku korupsi, melainkan amanah yang dijaga dengan integritas. Jangan biarkan maling-maling besar kembali masuk ke panggung kekuasaan hanya karena mereka punya uang, pengaruh, atau jaringan politik.

Akhirnya, perjuangan melawan ketidakadilan bukan hanya tugas lembaga hukum atau pemerintah. Ia adalah tanggung jawab moral setiap warga negara. Mulai dari ruang diskusi kecil, media sosial, hingga kotak suara pemilu semua adalah arena perjuangan untuk menciptakan bangsa yang lebih adil, jujur, dan beradab.

Kita berhak hidup dalam sistem yang adil. Kita berhak dipimpin oleh orang-orang yang bersih. Dan kita punya kewajiban untuk melawan ketika hukum hanya jadi alat kekuasaan, bukan pelindung kebenaran.

Ilham TribuneIndonesia.com

Berita Terkait

“Cinta dan Lahan Kaki Lima Duel Epik di Pelataran Cafe Agam”
Ketika Hati, Pikiran, dan Perbuatan Tak Sejalan (Refleksi Untuk Wakil Rakyat)
Viral Ojol Makan Siang di Istana, Sepatu Mewah Jadi Sorotan Publik
Sekilas Antara Reformasi 1998 dan Demonstrasi Saat Ini: Perbedaan Konteks, Pemicu, dan Dinamika
Sakit Gigi, Sakit “Murahan” yang Bisa Bikin Hidup Berantakan
Nisa, Putri Deli Serdang yang Harumkan Nama Daerah di Dangdut Academy 7 Indosiar
Judul Sensasional “Bupati Rasa Debt Collector” Media Jangan Jadi Kompor Konflik
Kritik Bukan Kejahatan, Mengapa Pemerintah Harus Belajar Mendengar Pers
Berita ini 48 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 3 September 2025 - 16:10

Massa HMI Kepung DPRD Medan, Wong Chun Sen Absen, Tiga Wakil Ketua Turun Meredam

Rabu, 3 September 2025 - 14:22

RSU Mitra Guray Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Kotarih, Warga Antusias

Rabu, 3 September 2025 - 03:36

Ketua DPRA Zulfadli Tuai Kontroversi, Usul Pemisahan Aceh dari Pusat

Rabu, 3 September 2025 - 02:39

Prabowo Sepakat Cabut Tunjangan Jumbo DPR, Gelombang Demo Tak Terbendung

Selasa, 2 September 2025 - 13:45

Sinergi Jurnalis, TNI, dan Pemerintah Desa Sukses Gelar Pasar Murah di Sugiharjo

Selasa, 2 September 2025 - 13:43

Tiga Kandidat Berebut Kursi Keuchik Pulo Ara Geudong Teungoh, Generasi Muda Jadi Harapan Baru

Selasa, 2 September 2025 - 08:52

Yonif TP.852/ABY Hadirkan Beras Murah, Warga Sugiharjo Antusias Sambut Program

Selasa, 2 September 2025 - 08:18

Arief Martha Rahadyan, B.Sc., M.Sc.,: Selamat & Sukses atas Hari Lahir Kejaksaan Republik Indonesia ke-80

Berita Terbaru

oplus_0

Feature dan Opini

“Cinta dan Lahan Kaki Lima Duel Epik di Pelataran Cafe Agam”

Rabu, 3 Sep 2025 - 15:49

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x