BIREUEN, TribuneIndonesia.com
Setiap saat Jerit tangis keluarga pecah, ketika kabar duka menggema di telinga, para korban laka lantas yang terjadi di sepanjang jalan.
Musibah yang terjadi ketika suara rem dan dentuman besi bertabrakan memecah kesunyian jalan di Kota Geudong. Bukan sekali ini terjadi. Jalan yang semestinya menjadi urat nadi keselamatan justru berubah menjadi lorong kematian. Di balik aspal yang mengelupas dan berem yang rapuh, terkuak cerita lama tentang proyek pengaspalan beram jalan yang kerjakan asal, hal ini ter jadi akibat setoran dari anggaran yang dilapisi korupsi.

Baru – baru ini Kecelakaan maut kembali terjadi di jalur nasional kawasan Mancang, Kecamatan Samudra, Aceh Utara. Jalur yang lurus sepanjang 400 meter ini menyimpan luka, tidak hanya dalam bentuk retakan aspal, tapi juga kehilangan nyawa manusia. Dua bulan lalu, satu nyawa melayang karena tergelincir ke berem rusak, sementara di Bireuen, sepasang suami istri terjatuh dan mengalami luka parah. Istri korban masih dalam kondisi kritis di RS Zainoel Abidin Banda Aceh.
Jalan Nasional di Kota Geudong, Aceh Utara dan Meunasah Alue, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, menjadi sorotan sejak rentetan kecelakaan terjadi dalam kurun tiga bulan terakhir.
Geuchik Meunasah Kota, M. Yusur, menyampaikan keprihatinan atas kondisi jalan. Sementara itu, warga Peudada bernama Samsul meminta aparat penegak hukum menyelidiki pembangunan berem jalan yang asal jadi. Di sisi lain, staf Balai Pelaksana Jalan Nasional menyebut tanggung jawab berada pada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di masing-masing kabupaten, namun para PPTK memilih bungkam.
Kerusakan fisik jalan dan berem Jalan diduga akibat pekerjaan proyek yang tidak sesuai spesifikasi teknis, yang Mengacu pada Permen PUPR No. 11/PRT/M/2010, berem semestinya diperkeras dan memiliki drainase efektif. Namun di lapangan, berem hanya berupa tanah becek, licin, dan tidak memiliki fungsi keselamatan. Drainase tidak tersedia, air sawah dibiarkan menggenang dan meresap ke badan jalan.
Kerusakan tersebut telah menyebabkan kehilangan nyawa dan luka berat. Tidak hanya itu, situasi ini mencerminkan korupsi sistemik dalam proyek infrastruktur yang mengabaikan keselamatan publik demi keuntungan jangka pendek. Jika dibiarkan, bukan hanya aspal yang terkelupas, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.
Pada Aspek Hukum: Pelanggaran terhadap Permen PUPR No. 11/PRT/M/2010 menjadi dasar bahwa ada indikasi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek. PPTK dan pihak terkait bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Menurut Geuchik yusuf dan samsul Kejadian ini menimbulkan trauma kolektif di tengah masyarakat desa yang setiap hari melintasi jalan tersebut. Masyarakat kehilangan rasa aman saat menggunakan fasilitas umum. Disapmping itu Proyek dengan anggaran besar tidak memberikan hasil berkelanjutan. Pemborosan dan dugaan mark-up anggaran berkontribusi pada kerugian negara dan biaya sosial yang lebih besar. Lanjutnya Keluarga korban mengalami tekanan psikologis berat, khususnya ketika kecelakaan tersebut seharusnya bisa dicegah. Jalur jalan berada di wilayah rawan banjir dan genangan sawah, semestinya mendapat perhatian lebih dalam desain konstruksi dan sistem drainase.
Mirror Effect:
Kita seolah menonton cermin retak dari sistem yang rapuh. Ketika satu proyek dijalankan dengan cara yang korup, maka satu demi satu nyawa menjadi taruhan. Wajah bangsa yang tampak dalam cermin itu bukanlah pembangunan, tapi pembiaran.
Penutup:
Korupsi di atas aspal bukan lagi sebatas cerita tentang uang dan kuasa. Ia telah menjadi kisah berdarah tentang nyawa yang dikhianati demi setoran proyek. Jalan nasional yang seharusnya menjadi urat nadi kemajuan, justru menjadi jalur kematian. Dan selama yang bertanggung jawab masih memilih diam, suara jeritan keluarga korban akan terus menggema di sepanjang jalan yang rusak tersebut.















