TribuneIndonesia.com
Pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tampil mengenakan baju adat dari Gayo. Sebuah pilihan yang tidak hanya meneguhkan identitas kebangsaan, tetapi juga mengirim pesan mendalam tentang kecintaan pada keberagaman budaya Nusantara.
Kita tentu memahami, setiap pemimpin nasional memiliki caranya sendiri dalam memaknai panggung kemerdekaan. Namun, apa yang dilakukan Gibran kali ini bukan sekadar seremoni berpakaian adat. Ada nilai simbolik yang menghubungkan sejarah keluarga dan kenangan kolektif bangsa. Sang ayah, Presiden ke-7 Joko Widodo, pernah menetap di Tanah Gayo pada masa mudanya. Gibran seakan hendak mengatakan, sejarah itu tidak boleh dilupakan.
Baju adat Gayo yang dikenakan Gibran menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia memelihara ingatan bahwa tanah tinggi berhawa sejuk di Aceh Tengah bukan hanya menyimpan panorama indah, tetapi juga sejarah kebangsaan, kisah hidup, dan pengalaman yang membentuk pribadi seorang pemimpin bangsa. Dengan tampil dalam balutan pakaian adat Gayo, Gibran seakan ingin mengingatkan bahwa Indonesia berdiri kokoh di atas keragaman budaya daerah yang harus dirawat dan dihormati.
Kita patut menilai pilihan ini sebagai bentuk penghormatan kepada Gayo dan masyarakatnya, sekaligus bukti nyata bahwa budaya lokal tetap mendapat tempat terhormat di panggung nasional. Lebih jauh, langkah ini mengandung pesan politik kebangsaan: seorang wakil presiden adalah milik seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Momentum ini juga bisa menjadi dorongan baru bagi masyarakat Gayo sendiri. Bahwa kebudayaan tidak boleh sekadar menjadi warisan yang disimpan di museum atau dijadikan tontonan pada acara seremonial. Ia harus menjadi napas kehidupan, identitas, dan kebanggaan yang diperjuangkan di tengah arus modernitas.
Gibran, dengan gayanya yang sederhana namun penuh makna, mengajarkan bahwa kekuatan budaya adalah kekuatan bangsa. Ia memperlihatkan bahwa nasionalisme bukan hanya soal pembangunan infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga penghormatan pada akar budaya yang menyatukan kita sebagai bangsa Indonesia.
Sejarah memang punya cara unik untuk berputar. Jika dulu Joko Widodo muda merajut kisah hidup di Tanah Gayo, hari ini sang anak, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, menghadirkan Gayo di jantung upacara kemerdekaan. Sebuah penghormatan yang meneguhkan, bahwa budaya lokal bukan pinggiran, melainkan pusat dari identitas Indonesia.
Namun, catatan kritis tetap perlu ditegaskan. Mengenakan baju adat hanyalah simbol, sementara tugas nyata jauh lebih berat: bagaimana negara hadir bagi masyarakat Gayo yang masih menghadapi persoalan klasik dari infrastruktur yang terbatas, pendidikan yang tertinggal, hingga kesejahteraan petani kopi yang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Simbol budaya tanpa aksi nyata akan berakhir sebagai seremoni kosong.
Kini, publik menunggu apakah Gibran mampu membuktikan bahwa kecintaan pada budaya tidak berhenti di panggung upacara, melainkan diwujudkan dalam kebijakan nyata. Jika benar ingin menghormati jejak ayahnya di Tanah Gayo, maka keberpihakan terhadap rakyat Gayo harus lebih dari sekadar pakaian adat: ia harus menjadi program, anggaran, dan tindakan nyata.
Oleh : Chaidir Toweren (Wakil ketua Persatuan Musara Gayo kota Langsa (MUSGA)















