Sumatra, Indonesia/Tribuneindonesia.com
Banjir yang kembali melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memunculkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat sipil mengenai potensi pelanggaran hak asasi manusia. Bencana yang terjadi berulang kali di wilayah yang sama dinilai tidak lagi dapat dipahami semata-mata sebagai peristiwa alam, melainkan sebagai akibat dari kegagalan tata kelola lingkungan dan kebijakan negara.
Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, menyatakan bahwa banjir telah menjadi tragedi yang dapat diprediksi. Menurutnya, ketika negara membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung dan mengabaikan peringatan ilmiah, maka negara turut bertanggung jawab atas penderitaan warga.
“Banjir yang berulang, korban yang terus bertambah, dan wilayah yang sama kembali terendam menunjukkan adanya kelalaian struktural. Ini bukan lagi soal hujan, tetapi soal kebijakan,” ujar Arizal.
Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan hulu sungai di Sumatra mengalami deforestasi masif akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, serta aktivitas pertambangan. Hilangnya tutupan hutan telah melemahkan fungsi alam sebagai pengendali air, sehingga curah hujan yang sebelumnya dapat diserap kini berubah menjadi banjir bandang.
Kesaksian warga di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menunjukkan pola yang konsisten. Banyak masyarakat menyebut bahwa intensitas hujan tidak jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun dampaknya kini jauh lebih menghancurkan. Rumah rusak, lahan pertanian hilang, anak-anak kehilangan akses pendidikan, dan ribuan warga terpaksa mengungsi dalam kondisi tidak layak.
Dalam perspektif hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak atas hidup, rasa aman, tempat tinggal, serta lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ketika risiko bencana telah diketahui, tetapi tidak dicegah, dan dampaknya terus menimpa kelompok yang sama, maka kondisi tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM melalui pembiaran.
Arizal juga menyoroti sikap negara yang kerap menutup diri terhadap bantuan kemanusiaan internasional saat bencana terjadi. Menurutnya, dalam situasi darurat kemanusiaan, keselamatan warga harus menjadi prioritas utama di atas pertimbangan politik dan citra negara.
“Kedaulatan sejati tidak diukur dari menolak bantuan, tetapi dari kemampuan negara menyelamatkan rakyatnya,” tegasnya.
Banjir berulang ini juga mencerminkan ketimpangan struktural antara pusat kekuasaan dan wilayah di luar Pulau Jawa. Keputusan eksploitasi sumber daya alam banyak ditentukan dari pusat, sementara risiko ekologis dan korban kemanusiaan ditanggung oleh masyarakat di daerah. Ketimpangan ini memperdalam rasa ketidakadilan dan memperkuat krisis kepercayaan publik terhadap negara.
Dampak kerusakan hutan di Sumatra tidak hanya bersifat lokal. Sebagai bagian dari ekosistem hutan tropis dunia, degradasi lingkungan di Indonesia turut berkontribusi terhadap krisis iklim global. Dalam konteks internasional, kegagalan negara melindungi lingkungan hidup semakin dipandang sebagai isu hak asasi manusia lintas batas.
Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret, termasuk penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku perusakan hutan, pemulihan daerah aliran sungai, serta kebijakan mitigasi bencana yang berorientasi pada keselamatan manusia.
“Hujan tidak bisa kita cegah,” kata Arizal, “tetapi bencana adalah hasil dari pilihan. Selama kerusakan lingkungan dibiarkan dan akuntabilitas dihindari, hujan akan terus berubah menjadi tragedi kemanusiaan.”( mahdi)
















