Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Kemiskinan sering kali dijadikan hantu oleh manusia modern. Ia menghantui pikiran, menggelisahkan hati, bahkan mendorong sebagian orang untuk melakukan apa saja demi terhindar darinya. Namun, di tengah segala kekhawatiran dan ambisi itu, terselip satu pertanyaan sederhana namun mendasar: bagaimana aku bisa takut pada kemiskinan, sedang aku adalah hamba dari Dia yang Maha Kaya?
Pertanyaan ini bukan sekadar kalimat reflektif, tetapi tamparan halus bagi nurani. Ia menggugat rasa takut yang berlebihan pada kehilangan, pada kekurangan, pada keadaan yang dianggap tidak layak oleh pandangan dunia. Padahal, sumber segala rezeki bukanlah manusia, bukan pula dunia, melainkan Allah Sang Pemilik segala kekayaan.
Rasa takut terhadap kemiskinan sebenarnya wajar, karena manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup. Namun, ketakutan itu menjadi salah arah ketika membuat manusia kehilangan keimanan. Kita lupa bahwa rezeki bukan diukur dari banyaknya uang di rekening, melainkan dari keberkahan yang menyertai setiap nafkah yang halal.
Banyak orang bekerja siang malam, menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran demi mengumpulkan harta, tapi hatinya tak pernah merasa cukup. Sebaliknya, ada yang hidup sederhana, namun hatinya lapang dan wajahnya berseri karena yakin setiap butir nasi di piringnya datang dari kehendak Tuhan.
Sungguh ironis, manusia yang mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Kaya justru sering merasa miskin. Padahal, bukankah Allah sudah menjanjikan dalam Al-Qur’an: “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6).
Namun, ayat ini sering hanya dihafal, tidak dihayati. Kita membaca kalimat itu setiap hari, tapi tetap khawatir besok makan apa, tetap resah ketika kehilangan pekerjaan, tetap takut ketika tabungan menipis. Inilah kemiskinan yang sesungguhnya bukan kemiskinan materi, melainkan kemiskinan keyakinan.
Takut miskin sering kali membuat manusia buta arah. Demi mengejar keamanan finansial, sebagian orang menempuh jalan yang tidak diridai: menipu, korupsi, memotong hak orang lain, bahkan menjual kehormatan. Padahal, apa arti kekayaan yang didapat dari kezaliman, jika keberkahannya hilang?
Betapa banyak orang kaya yang tak tenang tidur karena harta yang diperoleh bukan dari jalan yang benar. Betapa banyak pula orang sederhana yang tidur lelap, karena yakin rezekinya halal dan cukup untuk hari itu.
Ketakutan terhadap kemiskinan sering kali menjadikan manusia hamba uang. Ia bekerja bukan lagi untuk menunaikan amanah, melainkan untuk memuaskan keserakahan. Ia lupa bahwa rezeki bukan hanya tentang berapa yang dimiliki, tapi dari mana datangnya dan untuk apa digunakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kekayaan sejati tidak diukur dari apa yang bisa kita beli, tetapi dari kemampuan untuk tetap bersyukur dalam segala keadaan. Orang yang hatinya kaya tidak pernah takut kehilangan, karena ia tahu setiap kehilangan hanyalah jalan bagi Tuhan untuk menggantikan dengan yang lebih baik.
Ia bekerja dengan ikhlas, bukan karena takut lapar, tapi karena ingin menunaikan tanggung jawabnya. Ia memberi bukan karena berlebih, tapi karena percaya bahwa sedekah tidak akan membuatnya miskin. Ia menolak korupsi bukan karena takut tertangkap, tetapi karena yakin bahwa mengambil yang bukan haknya hanya akan mengundang murka Tuhan.
Jika kita yakin bahwa Allah Maha Kaya, maka seharusnya tidak ada ruang dalam hati untuk takut pada kemiskinan. Sebab, kekayaan-Nya tidak akan pernah habis, dan rezeki-Nya tidak akan tertukar.
Sejarah telah mencatat, banyak orang besar yang hidup dalam kesederhanaan. Rasulullah SAW sendiri hidup dengan sangat sederhana, bahkan sering menahan lapar. Namun, beliau tidak pernah mengeluh, tidak pernah takut miskin, karena hatinya penuh keyakinan bahwa Allah selalu mencukupi.
Begitu pula banyak ulama, guru, dan pejuang bangsa yang hidup dengan seadanya, tapi meninggalkan warisan ilmu dan keteladanan yang nilainya jauh melebihi harta. Mereka mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah ketika kita mampu berbagi meski sedikit, dan tetap tenang meski dunia menolak memberi.
Kemiskinan bukan sesuatu yang harus ditakuti. Yang perlu ditakuti adalah kehilangan iman ketika diuji dengan kekurangan. Sebab, ketika hati miskin dari keyakinan, seberapa pun banyak harta, manusia tetap merasa kurang.
Aku tidak akan takut miskin, karena aku tahu siapa Tuhanku. Dia Maha Kaya, Maha Memberi, dan tidak pernah lalai dari hamba-Nya. Aku hanya takut jika hatiku miskin dari rasa syukur, miskin dari keikhlasan, dan miskin dari keimanan kepada-Nya.
Sebab, selama aku masih percaya pada janji-Nya, selama aku masih berusaha dengan jujur, dan selama aku masih yakin bahwa setiap rezeki telah tertulis dengan nama-Nya, maka tak ada alasan bagiku untuk takut.
Bagaimana aku bisa takut pada kemiskinan, sedangkan aku adalah hamba dari Dia yang Maha Kaya?
Catatan : Tulisan ini merupakan refleksi spiritual untuk diri pribadi dan alhamdulillah bisa berbagai















