SUBULUSSALAM | TribuneIndonesia.com
Gelombang kritik keras menghantam aparat penegak hukum (APH) di Kota Subulussalam setelah mahasiswa dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kembali turun ke jalan, menuntut penuntasan dugaan korupsi dana desa senilai Rp1,2 miliar. Massa menilai penanganan kasus tersebut berjalan lamban dan terkesan ditutup-tutupi, sehingga memunculkan kecurigaan kuat bahwa aparat “pura-pura tidak tahu” meski sejumlah laporan telah disampaikan.
Kasus Pelatihan Rp1,2 Miliar yang Disebut “Ditenggelamkan”
Akar kemarahan publik bermula dari kegiatan pelatihan keterampilan desa dengan nilai anggaran Rp1,2 miliar yang digelar di Hotel Radisson Medan pada April 2025. Program yang semestinya meningkatkan kapasitas aparatur desa itu diduga sarat penyimpangan: mulai dari minimnya transparansi, dugaan mark-up, rekayasa perjalanan dinas, hingga potensi pelatihan fiktif.
Mahasiswa dan LSM menilai proyek tersebut telah berubah menjadi ajang “bancakan anggaran”, sementara respons APH dinilai tidak mencerminkan keseriusan. Meski berbagai laporan dan temuan lapangan sudah dipublikasikan, proses penanganan disebut nyaris tidak menunjukkan perkembangan.
“Kasus ini seperti ditelan bumi. Tidak ada progres, tidak ada penjelasan, tidak ada transparansi,” tegas salah satu koordinator aksi dari unsur mahasiswa.
Ultimatum 5×24 Jam untuk Kepala Kejari
Dalam aksi tersebut, massa memberikan ultimatum 5×24 jam kepada Kepala Kejaksaan Negeri Subulussalam yang baru, Andie Saputra, S.H., CRMO, agar segera menunjukkan langkah konkret. Mereka menegaskan bahwa pergantian kepemimpinan tidak boleh menjadi alasan stagnasi penanganan perkara.
Empat tuntutan yang disampaikan massa yaitu:
1. Memeriksa pelaksana kegiatan, Global Edukasi Prospek.
2. Menelusuri aliran dana serta mengungkap pihak yang diduga terlibat dalam pelatihan fiktif dan rekayasa perjalanan dinas.
3. Mengusut dugaan gratifikasi dan suap kepada pejabat pengawas maupun aparat penegak hukum.
4. Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada publik dalam waktu 7×24 jam.
Menurut massa, langkah ini sekaligus menjadi ujian integritas bagi Kepala Kejari yang baru menjabat.
Kritik Pedas: “APH Tidak Buta, Mereka Pura-Pura Tidak Melihat”
Salah satu suara paling keras datang dari Ketua DPW ALAMP AKSI Provinsi Aceh, Mahmud, yang secara terbuka menuding adanya unsur pembiaran.
“APH tidak buta. Mereka sengaja pura-pura tidak melihat karena ada yang harus mereka lindungi,” seru Mahmud dalam orasi, disambut sorakan massa aksi.
Mahasiswa dan LSM menilai bahwa jika APH bekerja serius, kasus ini tidak akan berlarut-larut hingga menimbulkan ketidakpercayaan publik. Mereka mengecam budaya diam dan penegakan hukum yang dinilai selektif.
“Ini bukan pertama kali dana desa diselewengkan. Yang paling menyakitkan ketika aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru diduga melindungi pelaku,” ungkap seorang perwakilan mahasiswa.
Ancaman Aksi Besar dan Pelaporan ke KPK
Massa menegaskan, jika ultimatum tidak dipenuhi, mereka akan menggelar aksi besar-besaran di Kejaksaan Tinggi Aceh. Selain itu, mereka berkomitmen membawa laporan resmi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI, sebagai langkah memastikan penegakan hukum tidak mandek di level lokal.
Ujian Integritas Aparat Penegak Hukum
Aksi mahasiswa dan LSM ini disebut sebagai peringatan keras terhadap penegak hukum di Subulussalam. Mereka menuntut Kejari menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi, terutama terkait dana desa—salah satu sumber anggaran paling rawan diselewengkan.
Bagi masyarakat Subulussalam, kasus ini bukan hanya soal nilai Rp1,2 miliar, tetapi soal kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Jika aparat kembali gagal menunjukkan integritas, keraguan publik terhadap proses penegakan hukum akan semakin menguat.
Redaksi: Tim
















