TribuneIndonesia.com
Angka tidak pernah berbohong, kata sebagian orang. Namun, angka juga sering kali menyembunyikan realitas sesungguhnya di balik tabel dan grafik. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Langsa baru saja merilis data terbaru yang menyebutkan angka kemiskinan di kota ini menurun cukup signifikan. Persentase penduduk miskin turun dari 10,33 persen pada 2024 menjadi 8,59 persen pada Maret 2025. Artinya, ada penurunan sebesar 1,74 persen. Secara absolut, jumlah penduduk miskin berkurang dari 19,37 ribu jiwa menjadi 16,28 ribu jiwa, atau sekitar 3,09 ribu jiwa “keluar” dari kategori miskin.
Sekilas, ini terdengar menggembirakan. Seakan-akan ada kabar baik bahwa program pemerintah berhasil mengentaskan ribuan orang dari kemiskinan hanya dalam setahun. Namun, benarkah demikian adanya? Apakah penurunan angka ini benar-benar mencerminkan kondisi kesejahteraan warga Kota Langsa? Atau justru sekadar manipulasi statistik yang tidak berbanding lurus dengan realitas di lapangan?
BPS memiliki metodologi tersendiri dalam menghitung siapa yang tergolong miskin dan siapa yang tidak. Ukurannya antara lain adalah garis kemiskinan, yakni pendapatan minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pada 2025, garis kemiskinan Kota Langsa ditetapkan sebesar Rp554.363 per kapita per bulan. Jika dibagi rata, itu berarti sekitar Rp18.478 per hari. Dengan kata lain, siapa saja yang memiliki pengeluaran rata-rata di atas angka tersebut dianggap tidak miskin.
Seorang tokoh masyarakat Langsa menyindir hal ini dengan ungkapan tajam: “Bagaimana mungkin seseorang yang hanya bisa membelanjakan Rp20 ribu per hari dianggap tidak miskin? Mari kita lihat langsung daya beli masyarakat yang kini luar biasa turun. Logika ini jelas tak lazim.”
Dan benar saja, siapa pun yang hidup di Kota Langsa tahu persis harga kebutuhan pokok hari ini tidak lagi murah. Satu liter minyak goreng saja bisa menembus Rp18–20 ribu. Belum lagi harga beras, gula, gas elpiji, hingga ongkos transportasi yang terus merangkak naik. Apakah seseorang yang hanya bisa membelanjakan Rp20 ribu per hari masih bisa memenuhi kebutuhan gizi seimbang, biaya pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak? Tentu jawabannya: sulit.
Perbedaan antara statistik dan kenyataan inilah yang patut dikritisi. Di atas kertas, penduduk miskin Langsa berkurang 1,74 persen. Namun di lapangan, banyak warga justru mengeluh karena daya beli mereka makin menurun. Upah yang stagnan, harga yang melonjak, serta lapangan kerja yang terbatas membuat kehidupan semakin berat.
Kenaikan garis kemiskinan dari Rp407.421 pada 2020 menjadi Rp554.363 pada 2025 memang diakui BPS sebagai dampak inflasi. Artinya, beban hidup terus bertambah. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah angka Rp554 ribu per bulan realistis untuk memenuhi kebutuhan dasar?
Jika dihitung sederhana, Rp554 ribu hanya cukup membeli sekitar 25 kilogram beras kualitas medium. Padahal, keluarga tidak hanya butuh beras. Ada kebutuhan protein, sayuran, listrik, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Maka wajar bila masyarakat menilai standar garis kemiskinan terlalu rendah dan tidak sesuai dengan kenyataan biaya hidup sehari-hari.
Penurunan persentase kemiskinan tentu saja menjadi bahan klaim keberhasilan program pemerintah. Namun, pertanyaan yang tak kalah penting adalah: apakah mereka yang keluar dari kategori “miskin” benar-benar lebih sejahtera? Atau sekadar “naik kelas” secara angka, dari Rp18 ribu per hari menjadi Rp19 ribu, tanpa perubahan nyata dalam kualitas hidup?
Selain itu, data statistik tidak bisa menjelaskan ketimpangan. Ada kemungkinan sebagian kecil kelompok masyarakat mengalami peningkatan pendapatan signifikan, sehingga rata-rata angka kemiskinan terlihat menurun. Namun di saat yang sama, mayoritas warga tetap bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik.
Di sinilah pentingnya mendengar suara rakyat secara langsung. Para pedagang kecil di Pasar Langsa mengaku pembeli makin sepi. Pekerja harian mengeluh penghasilan tidak sebanding dengan biaya hidup. Orang tua murid pusing mencari tambahan uang sekolah anak. Fakta-fakta kecil ini justru lebih merepresentasikan kondisi kemiskinan daripada tabel dan persentase.
Pemerintah daerah seharusnya tidak semata-mata puas dengan angka penurunan kemiskinan versi BPS. Angka hanyalah instrumen, bukan tujuan. Tujuan sesungguhnya adalah kesejahteraan riil: masyarakat bisa makan bergizi, berobat tanpa cemas biaya, anak-anak sekolah tanpa hambatan, dan warga hidup dalam rumah yang layak.
Opini ini bukan untuk menafikan kerja keras pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Namun, kita perlu kritis agar tidak terjebak pada ilusi statistik. Mengatakan kemiskinan menurun hanya karena ada 3 ribu jiwa yang keluar dari garis kemiskinan versi BPS bisa jadi menyesatkan, jika kenyataannya daya beli masyarakat terus merosot.
Pertanyaan mendasar harus tetap kita ajukan: apakah masyarakat benar-benar hidup lebih baik, atau sekadar naik peringkat di atas kertas? Jawaban jujurnya hanya bisa kita temukan dengan menengok langsung ke rumah-rumah rakyat, bukan hanya dari angka rata-rata pengeluaran Rp20 ribu per hari.
Karena pada akhirnya, kemiskinan bukan sekadar soal angka, melainkan tentang martabat manusia.(#)
Penulis : C. Ibrahim Abdullah