Oleh : Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Belakangan ini, polemik seputar pelantikan pengurus Ormas Musara Gayo (MUSGA) Kota Langsa mengemuka ke ruang publik. Sebagian pihak mempertanyakan keabsahan pelantikan karena dilakukan oleh Dewan Penasehat dan bukan oleh Kepala Daerah. Bahkan muncul klaim bahwa pelantikan ormas lokal hanya sah jika dilakukan oleh wali kota atau pejabat pemerintah. Isu ini perlu diluruskan secara jernih dengan mengacu pada kerangka hukum yang berlaku.
Pertama-tama, mari kita rujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang telah diubah sebagian melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Undang-undang ini secara jelas mengatur bahwa organisasi kemasyarakatan bersifat independen, sukarela, dan mandiri, dan dibentuk atas kehendak sekelompok warga negara untuk tujuan sosial, budaya, dan kemasyarakatan.
Pasal 10 UU No. 17 Tahun 2013 menyatakan bahwa ormas berhak menetapkan anggaran dasarnya, struktur kepengurusan, serta mekanisme internal organisasi secara otonom. Ini berarti, pelantikan kepengurusan ormas adalah bagian dari ranah internal organisasi yang harus tunduk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) masing-masing, bukan kepada pejabat pemerintah, kecuali diatur secara khusus dalam hukum positif.
Dengan demikian, pelantikan pengurus MUSGA oleh Dewan Penasehat atau Dewan Pendiri, sebagaimana diatur dalam AD/ART organisasi, adalah sah secara hukum. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa kepala daerah wajib melantik pengurus ormas. Bahkan, mewajibkan kepala daerah untuk melantik ormas dapat melanggar prinsip independensi dan non-intervensi terhadap organisasi masyarakat sipil.
Kehadiran wali kota atau pejabat daerah dalam acara pelantikan ormas bersifat seremonial dan simbolik, bukan sebagai syarat sah atau tidak sahnya sebuah pelantikan. Ini penting dipahami agar tidak terjadi penyalahartian bahwa ormas yang tidak dilantik oleh kepala daerah adalah ilegal. Klaim semacam ini tidak memiliki dasar hukum.
Jika ada pihak yang mengklaim bahwa hanya pelantikan oleh kepala daerah yang sah, maka itu bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi menyesatkan masyarakat dan melemahkan posisi ormas lokal di hadapan hukum.
Penulis memandang, polemik ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak untuk memahami bahwa legalitas sebuah ormas bukan diukur dari siapa yang melantik, melainkan dari keabsahan struktur organisasi yang tunduk pada peraturan internal dan undang-undang yang berlaku. Bukan untuk membenarkan yang salah membuat momentum seolah-olah yang paling benar.
Musara Gayo (MUSGA) Kota Langsa, sebagai organisasi berbasis kebudayaan dan kedaerahan, telah menunjukkan kemandirian dan konsistensinya selama sejak dari tahun 80an. Maka, biarkan organisasi ini berjalan sesuai dengan prinsip otonomi dan kearifan internalnya, tanpa dipolitisasi atau dipertentangkan hanya karena perbedaan persepsi soal pelantikan. Apalagi hanya untuk memuluskan sebuah kepentingan.
Jika ada ketidaksepahaman, semestinya diselesaikan melalui musyawarah atau forum organisasi yang sah. Bukan melalui narasi publik yang tidak berdasar hukum. Kita semua berkepentingan menjaga ormas-ormas lokal tetap kuat, mandiri, dan berdaya. Bukan saling melemahkan hanya karena perbedaan administratif yang sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam undang-undang. Mari bersama kita introfeksi diri, benarkah yang dilakukan atau sebaliknya.















