Penulis : Mahmud Padang – Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh
TribuneIndonesia.com
Di tanah yang konon disebut serambi surga, kini tumbuh jaringan baru yang lebih lihai dari pencuri bersenjata, tapi mereka mencuri bukan dengan cangkul dan truk, melainkan dengan peta, surat, dan tanda tangan. Di Aceh, terutama di wilayah Barat Selatan, geliat “investasi tambang” kian ramai, namun di balik gegap gempita pembangunan itu bersembunyi praktik yang menyesakkan dada berupa jual beli izin, jual beli negeri. Di sinilah para agen Izin Usaha Peubloe (IUP) nanggroe atau agen IUP (Izin Usaha Pertambangan) memperdagangkan tanah rakyat dan lahan milik negara seolah-olah milik pribadi.
Mereka beroperasi halus, tapi sistematis. Mula-mula mereka menandai wilayah yang berpotensi tambang , gunung yang mengandung bijih besi, sungai yang mengalir bijih emas, atau gunung-gunung yang kaya sumber mineral tanpa pengawasan. Setelah itu mereka membuat peta dan proposal perusahaan tambang, lalu mengurus rekomendasi IUP eksplorasi lengkap dengan dokumen Persetujuan PPKPR. Di atas kertas, semua tampak sah dan profesional. Namun begitu izin keluar, mereka tak menambangy tapi mereka menjual suratnya.
*Dari Izin Jadi Komoditas*
Fenomena ini bukan hal baru, tetapi kini semakin merajalela. Di berbagai kabupaten, satu nama bisa mengurus beberapa IUP sekaligus. Perusahaan yang mereka dirikan sering kali hanya “perusahaan kertas” tanpa alat, tanpa kantor, bahkan tanpa niat eksplorasi. Setelah rekomendasi kepala daerah keluar, izin itu diperdagangkan. Kadang dijual dalam bentuk take over saham, kadang jual putus kepada investor luar daerah dengan harga miliaran rupiah. Begitu transaksi selesai, pemilik dan direksi perusahaan diganti, lalu surat izin atau rekomendasi berpindah tangan dan diperbaharui. Di atas peta, wilayah itu sudah bukan milik rakyat atau negara lagi, melainkan milik korporasi baru yang entah dari mana datangnya.
Kejahatan ini licin karena bersembunyi di balik legalitas. IUP yang sejatinya dirancang sebagai instrumen pembangunan kini berubah menjadi komoditas rente. Data Pemerintah Aceh menunjukkan bahwa hingga pertengahan 2024 terdapat 64 IUP aktif, namun sebagian besar tak menunjukkan aktivitas eksplorasi riil. Lembaga IDeAS bahkan mencatat ada 13 IUP baru dengan luas lebih dari 24 ribu hektare hanya dalam setahun terakhir, dan sebagian besar di wilayah yang sama sekali belum pernah ditambang. Izin-izin itu ibarat uang elektronik yang bisa dipindahtangankan, digadaikan, bahkan dijadikan alat lobi politik.
*Modus Operandi Korupsi SDA*
Beginilah wajah korupsi sumber daya alam (SDA) yang sesungguhnya, tidak selalu dalam bentuk suap tunai atau pungli kasar, melainkan korupsi legal berbasis dokumen. Modusnya terencana. Investor semu datang membawa janji “pembangunan” dan “investasi hijau”, lalu menggandeng pejabat lokal untuk mengurus izin. Setelah rekomendasi keluar, izin dijual ke pemodal besar. Laporan eksplorasi disusun secara fiktif agar izin tetap hidup. Di sisi lain, saham perusahaan diubah-ubah, pemiliknya diganti, sehingga jejak uang sulit dilacak.
Uang hasil penjualan izin kemudian disamarkan lewat kontrak fiktif, kerja sama teknis, atau konsultasi proyek. Ini bentuk baru dari money laundering SDA, pencucian uang lewat transaksi izin yang sah secara administratif, tapi busuk secara moral. Tak heran, laporan beberapa lembaga masyarakat sipil menyebutkan bahwa potensi korupsi SDA di Aceh mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, sebagian besar bersumber dari jual beli izin dan pembiaran tambang ilegal.
Yang lebih berbahaya, praktik ini menumbuhkan ekosistem rente yang menekan kepala daerah. Ketika seorang bupati atau gubernur menolak memberi rekomendasi, mereka dilobi dengan tawaran uang, saham, atau janji investasi. Jika tetap menolak, muncullah tekanan politik dari mulai dari opini, kekuatan politik lokal bahkan lembaga hukum. Kepala daerah dipaksa tunduk lewat ancaman laporan dan kasus hukum. Di titik inilah birokrasi berubah menjadi alat pemerasan. Negeri ini nyaris dikuasai oleh sindikat yang menjual “izin” seperti menjual surat berharga negara.
Secara regulasi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan bahwa seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi dan pembinaan, namun bukan untuk memperdagangkan izin. Bahkan Pasal 45 PP Nomor 96 Tahun 2021 dengan tegas melarang pengalihan IUP tanpa persetujuan pemerintah.
Artinya, setiap transaksi jual beli IUP tanpa kegiatan eksplorasi nyata adalah bentuk pelanggaran hukum, bukan sekadar pelanggaran etik. Namun lemahnya pengawasan membuat praktik ini dianggap lumrah. Dalam banyak kasus, aparat daerah tak berdaya karena “surat sudah lengkap” dan semua dokumen tampak sah. Padahal di balik itu, ada manipulasi data, pemalsuan peta, dan konflik lahan yang belum terselesaikan.
Inilah yang membuat mafia tambang di Aceh begitu berbahaya. Mereka tidak merampok dengan senjata, tetapi dengan legalitas palsu. Mereka bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga menggadaikan kedaulatan, menjadikan tanah rakyat sebagai instrumen spekulasi. Dari pegunungan hingga lembah di wilayah barsela izin-izin itu menjalar tanpa kejelasan. Rakyat yang hidup di sekitar tambang tak pernah tahu bahwa tanah yang mereka pijak telah menjadi “aset” dalam neraca korporasi yang tak mereka kenal.
*Kepala Daerah Tak Boleh Tunduk*
Dalam pusaran ini, kepala daerah menjadi ujian terakhir kedaulatan. Ia berhak menolak, meninjau ulang, bahkan membatalkan rekomendasi jika ditemukan penyimpangan. Penolakan terhadap pembaharuan IUP bukan bentuk penghambatan investasi, melainkan pelaksanaan tanggung jawab konstitusional untuk menjaga kekayaan daerah.
Kepala daerah tak boleh gentar menghadapi tekanan para agen izin. Negara tak boleh tunduk pada lobi-lobi korporasi yang hanya ingin menukar peta dengan uang. Ketika kepala daerah berani menolak, itu bukan bentuk perlawanan terhadap investasi, tetapi bentuk keberpihakan terhadap rakyat dan hukum.
KPK harus turun tangan. Korupsi SDA bukan sekadar tindak pidana, tetapi kejahatan ekonomi terhadap kedaulatan negara. Ia merampas hak rakyat secara sistematis, memanipulasi birokrasi, dan mengubah izin menjadi surat dagang. KPK perlu menelusuri jejak siapa di balik setiap rekomendasi: siapa mengurus, siapa membayar, siapa menerima. Karena sering kali korupsi di sektor ini tak meninggalkan jejak uang, melainkan jejak tanda tangan.
Sebenarnya, Aceh pernah membuktikan keberaniannya. Pada 2019, Pemerintah Aceh mencabut 98 IUP bermasalah dan menyelamatkan lebih dari 500 ribu hektare lahan publik. Namun langkah itu tak boleh berhenti di tengah jalan. Mafia tambang akan selalu mencari celah baru lewat proyek “green mining”, kerja sama energi, atau investasi palsu. Maka satu-satunya cara menjaga kedaulatan adalah menutup ruang rente dan menegakkan hukum secara tegas.
Dalam filosofi Aceh, “tanoh nyan amanah, tanoh nyan darah.” Tanah bukan komoditas, melainkan warisan leluhur yang dijaga dengan sumpah dan darah. Siapa pun yang menjualnya dengan surat, sesungguhnya sedang menjual kehormatan negeri. Izin yang diterbitkan tanpa niat menambang adalah izin untuk menghancurkan diri sendiri.
Kini rakyat menanti, apakah KPK berani menggali lebih dalam, bukan hanya tambang, tetapi juga akar korupsi izin SDA yang telah lama mengakar di bumi Aceh? Jika negara gagal menegakkan hukum, maka suatu hari nanti anak cucu kita hanya akan mewarisi tumpukan peta tanpa tanah, izin tanpa tambang, dan negeri tanpa marwah.
Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat, Aceh bukan kalah karena miskin, tetapi karena dijual oleh agen-agen yang menambang dengan surat, bukan dengan cangkul atau alat sederhana lainnya.















