Banda Aceh | TRIBUNEIndonesia.com
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadli, kembali menjadi sorotan publik setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam audiensi dengan mahasiswa yang berunjuk rasa di Gedung DPRA, Banda Aceh, Senin (2/9/2025).
Dalam forum tersebut, Zulfadli secara terbuka meminta agar dimasukkan poin baru dalam daftar tuntutan mahasiswa, yaitu pemisahan Aceh dari Pemerintah Pusat. Ia bahkan menyatakan siap menandatangani jika poin itu ditambahkan ke dalam pernyataan sikap demonstran.
“Ataupun minta poin satu lagi. Pisah saja Aceh dari pusat. Kau tulis saja biar ku teken,” ucap Zulfadli, sembari menyodorkan lembar tuntutan kepada massa aksi.
Pernyataan itu sontak disambut sorak-sorai mahasiswa yang memenuhi ruang sidang utama DPRA. Namun, pernyataan tersebut juga menimbulkan reaksi keras dari sejumlah pihak yang menilai sikap Ketua DPRA tidak profesional dan dapat memicu kontroversi baru.
Tak hanya soal pemisahan, Zulfadli juga menyatakan penolakannya terhadap rencana penambahan satu batalyon baru di Aceh. Menurutnya, kebijakan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Tolak penambahan batalyon di Aceh. Ini bertentangan dengan UUPA,” tegas Zulfadli. Ucapannya kembali memancing riuh dukungan dari para mahasiswa.
Bahkan, dalam kesempatan itu, politisi Partai Aceh tersebut sempat meneriakkan kata “merdeka”. Aksi spontan itu semakin memperkuat pandangan bahwa Zulfadli kerap melontarkan pernyataan sensasional yang menuai pro dan kontra di tengah publik.
Sejauh ini, Zulfadli memang dikenal sering mengeluarkan pernyataan keras yang menarik perhatian. Beberapa kali ia membuat langkah politik yang memicu perdebatan, baik di internal DPRA maupun di ruang publik.
Ketua KAKI Aceh Muamar Saputra menilai pernyataan Ketua DPRA kali ini berpotensi menimbulkan kegaduhan serius. “Seorang Ketua DPRA mestinya menjaga marwah institusi. Apa yang disampaikan Zulfadli jelas di luar kapasitas kelembagaan dan bisa menimbulkan persepsi buruk terhadap DPRA,” katanya.
Ia menambahkan, ucapan yang mengarah pada pemisahan Aceh dari pusat bisa memicu ketegangan politik antara Jakarta dan Banda Aceh. “Apalagi disampaikan di forum resmi dan di hadapan massa aksi, dampaknya bisa lebih luas,” tambahnya.
Di sisi lain, sejumlah mahasiswa menilai Zulfadli telah menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi rakyat Aceh. Bagi mereka, pernyataan itu merupakan simbol dukungan moral meski berisiko menimbulkan polemik di tingkat nasional.
Respons publik pun terbelah. Di media sosial, banyak warganet mengecam sikap Zulfadli sebagai tindakan tidak pantas dari seorang pejabat publik. Namun, ada pula yang mengapresiasi keberaniannya menyuarakan isu yang selama ini dianggap tabu.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat mengenai pernyataan kontroversial Ketua DPRA tersebut. Namun, sejumlah tokoh masyarakat Aceh menyerukan agar Zulfadli segera memberikan klarifikasi untuk mencegah situasi politik semakin memanas.
Situasi di Banda Aceh sendiri masih kondusif pascaaksi demo mahasiswa. Meski demikian, publik menilai ucapan Zulfadli telah membuka babak baru perdebatan tentang hubungan Aceh dan Pemerintah Pusat yang rentan menimbulkan gejolak politik. (Cp)