Jakarta | TribuneIndonesia.com
Situs judi online (judol) yang terus bermunculan meski sudah berkali-kali diblokir menjadi sorotan publik. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengakui bahwa sulitnya pemberantasan konten judol tidak lepas dari adanya permintaan di masyarakat.
“Bukan mau menyalahkan masyarakat kita, tetapi ini fakta yang terjadi. Kalau kita melihat prinsip adanya perkembangan atau orang membuat situs judi online, itu karena ada demand, ada kebutuhan, dan ada pihak yang memenuhi kebutuhan itu,” ujar Dirjen Pengawasan Digital Komdigi, Alexander Sabar, dalam konferensi pers di Kantor Komdigi, Jakarta, Rabu (17/9).
Pernyataan itu menjadi jawaban atas pertanyaan wartawan terkait tantangan pemerintah dalam memberantas maraknya konten judol di tanah air.
Menanggapi hal tersebut, Ketua PENA PUJAKESUMA, Purn TNI Zulsyafri, menilai pernyataan Komdigi seolah memberi ruang bagi berkembangnya judi online di Indonesia.
“Pernyataan itu menyedihkan. Seakan-akan pemerintah membiarkan pola pikir rakyat Indonesia rusak oleh judol. Padahal kita tahu, dampak judi online bisa menghancurkan diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat,” tegas Zulsyafri.
Ia mencontohkan dampak nyata di lapangan: banyak orang kecanduan judol menjadi malas bekerja, melakukan tipu muslihat, bahkan menjual barang-barang di rumah demi memenuhi kebutuhan berjudi. “Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga moral dan akhlak bangsa,” tambahnya.
Zulsyafri menekankan, Komdigi memiliki tanggung jawab besar menjaga ketertiban digital masyarakat Indonesia. Ia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengendalikan masalah judol.
“Kalau judol ini dibiarkan berlarut-larut, perlu dipertanyakan: ada kepentingan apa dengan judol itu? Jangan sampai negeri ini terjebak dalam permainan baru yang justru merugikan rakyat,” ujarnya dengan nada kritis.
Menurutnya, pemerintah memiliki semua perangkat untuk menindak tegas situs judol. “Situs-situs itu jelas ada. Tidak mungkin Komdigi tidak tahu. Kalau serius, pasti bisa diberantas,” tegasnya.
Komdigi sendiri mengakui, ada tiga tantangan utama dalam pemberantasan judi online, yakni teknologi, prosedur, dan manusia.
Dari sisi teknologi, situs judol selalu menemukan cara baru untuk menghindari pemblokiran.
Dari sisi prosedur, regulasi hukum sering kali tertinggal dibanding perkembangan digital.
Dari sisi manusia, masih ada kelompok masyarakat yang tetap mencari akses untuk bermain judol.
“Teknologi berkembang terus, kami berusaha mengikuti. Aturan hukum sudah ada, prosedur sudah jelas. Namun tantangannya, perkembangan teknologi lebih cepat dari regulasi,” jelas Alexander.
Menutup keterangannya, Zulsyafri menegaskan bahwa masyarakat siap mendukung pemerintah jika benar-benar serius menutup ruang gerak judol di Indonesia.
“Kalau pemerintah tegas melarang judol, rakyat pasti mendukung. Jangan sampai pemerintah justru minta dukungan rakyat dalam hal ini. Rakyat sudah jelas menolak, tinggal keberanian pemerintah untuk bertindak,” pungkasnya.(##)















