TribuneIndonesia.com
Baru sehari rakyat Aceh merasakan kebanggaan tersendiri: dua pucuk pimpinan keamanan di Tanah Rencong berasal dari putra daerah. Pangdam Iskandar Muda dijabat Mayjen TNI Niko Fahrizal, putra Aceh, dan Kapolda Aceh resmi dipimpin Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah, juga putra Aceh.
Bagi rakyat Aceh, momen ini tidak sekadar seremonial, melainkan simbol kepercayaan negara terhadap anak-anak bangsa dari daerah ini untuk mengemban jabatan strategis. Kebanggaan itu semakin terasa karena dua posisi tersebut—Pangdam dan Kapolda—adalah simbol keamanan dan stabilitas di Aceh.
Namun, rasa bangga itu seolah hanya seumur jagung. Tepat di hari pelantikan Brigjen Marzuki Ali Basyah sebagai Kapolda Aceh, kabar mengejutkan datang: Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Niko Fahrizal diganti melalui SK Panglima TNI. Belum kering tinta berita tentang “putra Aceh memimpin Aceh”, publik kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa kebanggaan itu hanya bertahan sehari.
Pertanyaannya, mengapa pergantian ini begitu cepat? Apakah rotasi tersebut murni bagian dari dinamika organisasi TNI, ataukah ada faktor lain yang membuat rakyat Aceh harus rela melepas Pangdam putra daerah?
Kita tentu memahami bahwa rotasi jabatan di institusi TNI dan Polri adalah hal lumrah. Namun, di mata rakyat, momentum hadirnya dua putra Aceh pada saat bersamaan memberi makna emosional dan historis. Ia bukan sekadar soal jabatan, melainkan tentang representasi identitas, kepercayaan, dan harapan.
Bayangkan, betapa kuatnya pesan moral jika Aceh dipimpin oleh putra daerah baik di tubuh TNI maupun Polri. Sebuah simbol harmoni antara negara dan rakyat Aceh, bahwa keduanya berjalan beriringan dengan rasa saling percaya.
Kini, simbol itu retak. Rakyat kembali bertanya-tanya, mengapa kebanggaan yang baru dirasakan harus segera terpotong? Mengapa tidak dibiarkan lebih lama agar rakyat menikmati atmosfer kepercayaan itu?
Di tengah banyak persoalan Aceh, dari isu keamanan hingga pembangunan, kehadiran putra daerah di pucuk pimpinan aparat negara sejatinya mampu menjadi jembatan. Bukan hanya soal bahasa dan budaya, tetapi juga soal hati. Pemimpin putra daerah sering kali lebih mampu merasakan denyut nadi masyarakatnya sendiri.
Oleh karena itu, meski publik Aceh tetap menghormati keputusan Panglima TNI, rasa kecewa tidak bisa ditutupi. Harapan yang sempat membumbung tinggi kini terhempas ke bumi.
Rotasi boleh saja menjadi rutinitas, tetapi jangan dilupakan bahwa setiap keputusan memiliki dimensi psikologis bagi rakyat. Di Aceh, rasa bangga memiliki pemimpin putra daerah bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari perjalanan panjang sejarah hubungan Aceh dan Republik ini.
Kini, yang tersisa adalah satu pertanyaan reflektif: sampai kapan rakyat Aceh bisa benar-benar menikmati kebanggaan itu tanpa harus dipotong di tengah jalan?
Penulis : (Purn) Zulsyafri Sekretaris KAKI Aceh Editor ; Redaksi