Oleh : Chaidir Toweren ( Ketua Persatuan Wartawan kota Langsa (Perwal)
TribuneIndonesia.com
Pagi itu, salah seorang jurnalis kota Langsa mengirimkan foto sebuah lembaran proposal mengatasnamakan sebuah organisasi pers dikota Langsa di pesan whatsapp, dan dalam sepekan ini itu bukan laporan yang pertama tetapi untuk yang kesekiankalinya. Aneh laporan disertai keterangan yang menjelaskan bahwa ada seorang pria berpenampilan rapi datang membawa map lusuh berisi selembar kertas. “Kami dari organisasi pers,” ujarnya penuh percaya diri, sambil meletakkan surat di meja. Surat itu bukan berita penting, bukan undangan peliputan, melainkan proposal permohonan bantuan. Satu lembar saja, tanpa kata pengantar, tanpa susunan panitia, tanpa rincian biaya. Isinya? Janji kegiatan pelatihan dan pelantikan yang entah kapan akan terjadi, entah siapa yang akan melaksanakannya.
Sejak Juli hingga Agustus, pemandangan seperti ini mulai sering terdengar, bahkan menjadi bahan bisik-bisik di kalangan instansi, swasta, dan para pengusaha. Fenomena “wartawan proposal” pun lahir, oknum yang mengaku jurnalis namun lebih rajin mengetuk pintu demi amplop daripada mencari berita.
Ironisnya, proposal itu dibungkus dengan kop surat salah satu organisasi pers, seolah stempel nama besar bisa menjadi tiket emas untuk memperoleh dana. Bedanya dengan proposal resmi? Jauh. Sangat jauh.
Fenomena ini bukan sekadar lucu-lucuan atau kenakalan kecil. Ini adalah noda yang menetes di wajah profesi yang seharusnya dijunjung tinggi. Jurnalis sejati berdiri di garis depan membela kebenaran, bukan berkeliling menawarkan selembar kertas kosong bernilai rupiah.
Kepada para kepala dinas, camat, keuchik, dan pengusaha: tolak dengan tegas praktik ini. Menyetujui permintaan seperti itu sama saja menandatangani sertifikat kehancuran marwah jurnalisme. Wartawan sejati tak butuh proposal recehan untuk membuktikan dirinya, pena, kamera, dan integritas adalah modal mereka.
Kita mungkin tahu siapa pelakunya, tapi memang bukan wewenang kita menindak secara hukum. Namun kita punya kewajiban moral: menutup pintu bagi oknum yang memperjualbelikan profesi. Jika dibiarkan, publik akan sulit membedakan mana yang melapor fakta dan mana yang melobi demi bantuan.
Wajah jurnalisme Kota Langsa kini diuji. Pilihannya jelas: tetap tegak menjaga martabat atau rebah di kaki oknum yang menjadikannya sekadar kedok mencari uang.
Jurnalis bukan pengemis proposal. Kita menulis untuk membangun, bukan menjual untuk merendahkan. (#)