Oleh: Ilham Gondrong
Tribuneindonesia.com
Sejak dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, manusia telah dibekali dengan dua kekuatan besar dalam dirinya kebaikan dan keburukan. Di antara bentuk keburukan itu, nafsu amarah menjadi salah satu yang paling berbahaya jika tidak dikendalikan. Ia bukan hanya bisa merusak diri sendiri, tetapi juga lingkungan sekitar, menghancurkan hubungan antarmanusia, bahkan bisa menjadi pemicu kehancuran yang lebih luas.
Namun, sebagaimana setiap penyakit pasti ada obatnya, begitu pula dengan amarah. Dalam keheningan jiwa, dalam setiap helaan napas dzikir, dalam setiap bulir tasbih yang menyebut nama Tuhan, amarah bisa dilebur, diredam, bahkan dihilangkan tanpa bekas. Inilah kekuatan spiritual yang sering kali terlupakan dalam hiruk-pikuk dunia modern yang penuh kegaduhan dan ego.
Asal Usul Nafsu Amarah, Sebuah Hikmah Tersirat
Dikisahkan dalam berbagai literatur tasawuf dan spiritualitas Islam, bahwa ketika Allah menciptakan nafsu amarah, Ia langsung mengujinya. Allah bertanya kepada nafsu itu, “Siapa kamu?” Nafsu dengan pongah menjawab, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.” Kesombongan yang lahir dari ciptaan terhadap Sang Pencipta adalah bentuk tertinggi dari keangkuhan.
Lalu Allah meletakkan nafsu itu di tempat yang paling dingin selama seribu tahun. Namun ketika ditanya kembali, jawabannya tetap sama. Maka kali ini Allah mengurungnya dalam kelaparan selama seribu tahun lamanya. Barulah ketika hawa dingin dan lapar menundukkan kesombongannya, nafsu itu menjawab, “Aku adalah makhluk-Mu, dan Engkau adalah Tuhanku.” Barulah kemudian nafsu bisa ditundukkan.
Kisah ini bukan sekadar dongeng spiritual. Ia adalah isyarat betapa keras dan liarnya nafsu manusia, terutama nafsu amarah. Ia tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan fisik semata. Ia harus diproses, diuji, ditempa dengan kesabaran, keikhlasan, dan kepasrahan kepada Allah. Hanya dengan menyandarkan diri sepenuhnya kepada Sang Khalik, nafsu dapat dijinakkan.
Amarah Gurita yang Siap Menerkam
Nafsu amarah bukan sekadar luapan emosi sesaat. Ia seperti gurita dengan tangan-tangan yang panjang dan licin. Ia menyusup perlahan, membelit hati, memengaruhi pikiran, dan merusak lisan serta tindakan. Jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali, ia bisa mengubah seseorang yang lembut menjadi pemarah, yang penyabar menjadi pendendam, yang cerdas menjadi nekat.
Amarah yang tidak terkontrol bisa menghancurkan keluarga, merusak hubungan persaudaraan, bahkan menimbulkan pertumpahan darah. Dalam sejarah umat manusia, banyak peperangan besar yang diawali oleh amarah. Betapa mengerikannya jika nafsu ini dibiarkan bersemayam tanpa rem dalam diri manusia.
Namun, dalam konteks spiritual, amarah bukan untuk dimusuhi sepenuhnya. Ia adalah alat ujian, sebagaimana pisau yang bisa membunuh atau digunakan untuk memasak. Ia harus ditundukkan dan diarahkan. Ketika nafsu berhasil ditaklukkan, maka manusia akan menemukan dirinya yang sejati ,tenang, damai, dan penuh cahaya.
Jalan Menuju Ketenangan
Dalam setiap bulir tasbih, ada kekuatan tak kasat mata yang mampu menembus dinding-dinding hati yang keras. Kalimat-kalimat dzikir seperti Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, dan La ilaha illallah bukan sekadar bacaan lisan. Ia adalah nutrisi bagi jiwa, penyejuk bagi hati yang gundah, dan tameng bagi pikiran yang sedang berkecamuk.
Ketika seseorang marah, lalu ia mengambil wudhu dan duduk dengan tenang menyebut nama Tuhan detik demi detik, perlahan tapi pasti, amarah itu akan mencair. Ia akan melebur dalam keikhlasan dan kepasrahan. Inilah kekuatan tasbih yang sering diremehkan. Ia bukan benda biasa. Ia adalah alat spiritual untuk menghadirkan Tuhan dalam hati.
Bukan berarti tasbih adalah satu-satunya jalan. Tetapi dzikir , entah dengan tasbih atau tanpa alat bantu adalah bentuk tertinggi dari mengingat Tuhan. Dalam dzikir, ada komunikasi spiritual yang melampaui bahasa. Ketika nama Tuhan disebut, maka cahaya-Nya akan masuk ke dalam relung hati. Di sanalah nafsu amarah kehilangan kekuatannya.
Menjadikan Hati sebagai Singgasana Tuhan
Seseorang yang senantiasa menghadirkan Tuhan dalam hatinya tidak akan mudah terpancing oleh amarah. Bukan karena ia tidak punya emosi, tapi karena ia sudah menjadikan Tuhan sebagai poros hidupnya. Ia tidak merasa perlu membalas keburukan dengan keburukan, karena ia percaya bahwa setiap kejadian adalah takdir yang penuh hikmah.
Hati yang telah dipenuhi dzikir adalah hati yang lapang. Ia tidak mudah tersinggung. Ia mampu melihat kesalahan orang lain sebagai cermin untuk memperbaiki diri, bukan sebagai alasan untuk membenci. Ia lebih memilih memaafkan daripada membalas. Inilah buah dari keimanan yang dalam.
Meredam Amarah, Menyelamatkan Dunia
Bayangkan jika setiap orang mampu meredam amarahnya. Dunia ini akan lebih damai. Tak akan ada lagi berita tentang kekerasan rumah tangga, konflik antar tetangga, perkelahian, bahkan perang. Semua itu bersumber dari satu titik: hati yang tidak terkontrol, jiwa yang tak pernah berdzikir.
Mengendalikan amarah bukan tanda kelemahan, tetapi kekuatan sejati. Rasulullah SAW sendiri bersabda, “Bukanlah orang yang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu menahan dirinya saat marah.” Sebuah pesan mendalam yang relevan di sepanjang zaman.
Melebur Diri dalam Dzikir
Saat dunia semakin bising, saat manusia semakin mudah tersulut emosi, mari kita kembali kepada keheningan. Mari kita tenggelam dalam lautan dzikir. Biarlah tasbih menjadi sahabat sejati yang menemani setiap perjalanan hidup. Biarlah nama-nama Allah menyejukkan jiwa, menenangkan pikiran, dan meleburkan amarah tanpa sisa.
Karena sesungguhnya, dalam setiap detik kita mengingat Tuhan, saat itulah kita sedang menyelamatkan diri dari kehancuran. Saat itulah kita sedang membangun peradaban yang penuh cinta dan kedamaian. Maka genggamlah tasbihmu, sebutlah nama-Nya dan saksikan bagaimana amarah meleleh, lenyap dalam cahaya iman yang abadi.
Ilham Tribuneindonesia.com